Warna
bukan yang semata ditangkap oleh indera. Pecinta kegelapan bukan tidak mengenal
apa itu merah, biru, hijau, ungu dan seterusnya. Namun mereka memiliki versinya
sendiri. Yang tak perlu kau paksa untuk pahami. Karena selalu ada warna dalam
batas.
Semburat
Jangan pernah salahkan semburat
Ia bukan gerbang pemisah
Melainkan tumpukan warna pengiring mentari
berpindah
Kabut
Jangan dustai keberadaannya
Ia hadir bukan untuk menghalangi jarak
pandang
Tapi sebagai pembatas agar kau pahami warna
selain kelabu
Aku mencintai semburat
Seumpama aku merindukan pembatas buku
harianku
Yang saat kehilangannya, aku tersesat di
perjalananku sendiri
Aku mencintai kabut
Laksana daun yang ditetesi embun pagi
Ikhlas, tulus, tanpa pamrih
Sehebat pertanda, bahwa semesta menyambutmu
sukacita
Aku mencintai putih, merah, biru dan kuning
Karena gradasi takkan bermula tanpa
kehadiran mereka
Aku mencintai putih, merah, biru dan kuning
Yang mengajarkanku, untuk hasil tak
terhingga, ada awal yang dapat dikera
Aku, kamu, kita, mereka adalah manusia
Paduan harmonik antara angin, daging dan
tulang dalam satu raga
Rambutku hitam bergelombang, kulitku kuning
langsat, bibirku merah muda dan aku “satu”
Jangan tanyakan warna pipi dan hatiku
Pipiku seumpama delima kala hatiku berbunga
Aku mencintai Rabb-ku
Dari-Nya, melalui sepasang malaikat duniaku,
aku diajarkan mencintai hijaunya daun, menikmati mentari yang keemasan dan
memaklumi hitamnya malam.
Aku mencintai Rabb-ku
Yang meniupkan serpihan cinta-Nya di hatiku
Hingga aku sanggup mencintai ciptaan-Nya
yang lain
Aku mencintai Ibuku
Darinya kuwarisi kecintaan terhadap
keseimbangan
Bahwa tak harus seragam, namun selaras
Tak harus se-iya sekata, namun harmonis
Aku mencintai Ayahku
Seperti aku memahami mengapa Adam harus
terusir dari Surga
Yang mengajarkan bahwa kebenaran bukan
barang tawaran
Yang menegaskan bahwa hitam dan putih bukan
sekedar warna
Aku belajar dari elegi
Elegi tak selamanya duka dan luka
Ia memaksaku mengerti, ada rasa selain
nikmat
Karena warna bukanlah apa yang ditangkap
oleh mata
Melainkan apa yang telah diterjemahkan hati
dan diinterpretasikan lewat indera
Karena waktu dan jarak bukanlah batas
Melainkan sahabat
Selalu ada temali tak terlihat yang
menyambungkan
Karena hakikatnya hati manusia adalah
serpihan kemuliaan Tuhan
Dan Tuhan tak pernah berhenti untuk “ada”.
Bintaro, at the time
mahdarania
Tidak ada komentar:
Posting Komentar