Kata
seorang motivator bijak, sebutlah namanya Pak Mario, anak muda harus
galau.
Karena
galau adalah pertanda anak muda mengkhawatirkan masa depannya, yang artinya,
mereka peduli. Tapi, sekedar galau itu jauh dari kata cukup.
Pemuda
galau yang bertanggung jawab harus (berani) membuat daftar apa dan (si)apa saja
yang layak diberi perhatian lebih.
Untuk
pemuda-pemudi yang tengah menuntut ilmu, tentu wisuda masuk sebagai satu
diantara prioritas pertama. Bagi pemuda-pemudi yang menginginkan kehidupan
lebih baik atas dirinya dan keluarganya, maka pekerjaan menjadi pengisi baris
teratas daftar tersebut. Pemuda, saya wakilkan untuk semua anak muda-lelaki
maupun perempuan-, yang mencintai ilmu akan meletakkan program beasiswa dan peluang
melanjutkan sekolah sebagai perburuan utama.
Untuk
pemuda yang mencintai kedua orangtuanya, tentu mereka akan menyelesaikan studi
seawal mungkin demi meringankan beban orangtua. Anak-anak muda yang menyayangi
adik-adiknya akan menemukan berbagai cara agar menjadi sebaik dan sepantas
panutan.
Teruntuk
kaum muda yang serius memperlakukan putra-putri orang lain yang dibebankan
sebuah pengharapan untuk menjadi bagian dari cerita hidupnya kelak, maka
lakukan yang terbaik.
Sebelum
itu, uraikan definisi terbaik sesuai pemahaman dan cara kita sendiri.
Setiap
orang berhak mendefinisikan dan berbuat sesuai apa yang dipercayai dan
dipahami. Kultur nyata-nyata berlaku atas orang-orang yang hidup di tempat dan
memiliki latar belakang serupa. Tidak ada kebenaran absolut, selain Tuhan.
Jadi,
bukan tempat dan kapasitas saya untuk mengatakan bahwa pendekatan ala pacaran
adalah pemahaman yang tidak baik. Hanya saja, tidak sesuai dengan pemahaman dan
jalan yang saya pilih.
Lalu,
apa yang saya pahami tentang interaksi antar lawan jenis dan jalan apa yang
akan saya pilih?
Sebuah
kebohongan jika saya mengatakan bahwa saat ini saya tidak membujuk dan meminta
kepada Tuhan satu-dua nama yang saya kira tepat untuk saya perjuangkan.
Mengapa
satu-dua nama? Seems like am a greedy girl, right?
Bukan.
Satu-dua, bahkan tiga atau empat nama tidak saya rapal di sujud-sujud dalam
waktu bersamaan. People on our lives just like people on our social medias.
Come and go.
Saya
mengeja nama pertama saat masih berstelan putih abu-abu. Teman sekolah, klise
sekali :)
Tapi
percayalah, binar sederhana yang masih terbalut keluguan dan kepolosan ini
terasa manis kala itu. Meski miris pada akhirnya, (yang bersangkutan gemar
menebar perhatian kemana-mana), saya belajar bahwa selain tidak boleh berhenti
berdoa, tidak sembarang nama pantas didoakan.
Nama
kedua ternyata bukan pilihan Tuhan, meski pilihan hati saya. Sold out.
Beliau menikah saat saya semester tiga. Saat mendengar kabar tersebut, saya
terkekeh dan geleng-geleng kepala.
Lupa
akan kutipan hadis tentang berburu yang sekufu, setara. Oke, pelajaran yang
saya terima bertambah satu.
Nama
ketiga saya eja ragu-ragu di hadapan-Nya. Mengapa saya ragu ? Karena beredar
kabar, yang bersangkutan sudah punya calon. Benar saja, sedang persiapan menuju
pernikahan.
Saya
kembali geleng-geleng kepala dan terkikik. Pahit memang, tapi mau apa lagi.
Saya kembali belajar bahwa keraguan dan status hubungan orang perlu
dipertimbangkan sebelum menyelipkan sebaris nama dalam sujud.
Kelihatannya
menyedihkan, bukan? Seperti sosok Bolin dalam Serial Avatar: The Legend of
Korra, yang harus tertolak dari Korra, Eska, dan Opal (walaupun akhirnya
bersama Opal).
Bedanya,
Bolin harus menelan pil pahit karena menyatakan secara terus terang. Sedangkan
saya hanya curhat kepada Tuhan, dan beberapa orang sahabat.
Apakah
saya tertolak ?
Officially,
tidak. Alasannya ada dua hal. Yang pertama, orang-orang yang saya sebut adalah
orang-orang penting yang memiliki banyak penggemar. Saya meyakini ada buanyak
gadis yang kecewa dan patah hati selain saya. Ingat, kecewa dan patah hati,
bukan tertolak.
Kedua,
sepertinya saya tidak buruk-buruk amat :p
Ada
beberapa teman kampus yang secara eksplisit maupun implisit menunjukkan
perhatian dengan berbagai cara. Seperti memberi hadiah ulang tahun, menelepon,
bertanya kabar via personal chat, mengajak makan dan nonton, mengirimi
lagu, menawarkan antar-jemput sesekali (emangnya ojek), bahkan menawarkan
oleh-oleh.
Nah,
tidak terlalu buruk 'bukan?
Sebenarnya
bisa saja saya 'pacaran' dengan salah satu diantara mereka. Tapi masa iya 'sih,
karena patah hati dengan pemilik nama-nama yang saya doakan lantas membuat saya
berhak melampiaskan kepada orang-orang yang baik terhadap saya?
Tidak
baik untuk saya dan tidak adil untuk mereka. Jadi, biarlah kita bersikap
layaknya teman. Bertegur sapa, saling bertanya kabar, dan sesekali berdiskusi.
Well, tiga nama yang
saya sebut sebelumnya sudah saya ikhlaskan dan saya doakan agar selalu
mendapatkan yang terbaik. Meski untuk nama yang ketiga, terkadang masih terasa
sensasi aneh saat melihat foto dan postingan beliau di media sosial.
Maklum, kata orang, kita (baru) bisa ikhlas kalau yang bersangkutan udah
sold out officially.
Saya
terkikik sendiri saat membaca ulang tulisan ini. Rasanya sudah ringan sekali.
Sekarang
pertanyaannya, lagi kosong nggak nih?
Jawabannya
tentu saja tidak. Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik-Adik saya sudah memiliki jatah
permanen untuk terus disebut dalam tiap pengharapan terhadap-Nya. Lalu ada juga
teman-teman yang daftar namanya kian bertambah.
Selain
itu, saya juga (sudah) punya nama keempat. Kalau ketiga nama sebelumnya selalu
saya ceritakan kepada sahabat-sahabat dekat, untuk nama yang ini saya kira cukup
saya dan Dia saja yang tahu. Biarin deh endingnya
nanti seperti apa.
Que sera, sera... Whatever will be,
will be.. The futures aren’t ours to see.. Que sera, sera... What will be, will
be...
Bintaro, 12 Maret 2016
mahdarania