Sabtu, 12 Maret 2016

Teruntuk... Kamu


Teruntuk sosok yang akan menjadi orang pertama di pagi hari-hariku,
Teruntuk sosok yang akan kusambut di setiap senja,
Teruntuk sosok yang menggamit telapak tanganku menuju rumah (kita) kelak,
Teruntuk sosok yang bahkan nama dan rupamu masih berwujud rahasia,

Maafkan aku yang pernah mengeja dan memohon kepada-Nya nama selain-mu.
Cukup kukatakan, aku hanya memohon,
karena saat itu kita mungkin belum bertemu,
atau belum menyadari bahwa sebenarnya kita sudah bertemu.
Dunia kita belum bersinggungan kala itu

Sama seperti aku akan memaklumi setiap nama yang pernah kau eja dan kau bawa-bawa,
Serupa aku mengikhlaskan setiap kepingan masa lalumu sebagai bagian darimu yang memang tidak mampu kupisahkan,

Seperti kita yang kelak akan saling mengikhlaskan,
bahwa masa lalu adalah hak tiap-tiap dari kita yang sudah lewat masa berlakunya,
dan kelak akan saling memahami,
bahwa masa depan adalah hak dan kewajiban kita bersama untuk diwujudkan sebaik-baik dan selayak-layaknya

Teruntuk nama yang akan aku eja dan mendapat tempat tetap di setiap pengharapan terhadap-Nya,
Semoga saat ini, aku dan kamu, sedang sama-sama berupaya memantaskan diri
Semoga di hari-hari sebelum pertemuan yang digariskan-Nya, 
kita saling menyibukkan diri dengan sebaik-sebaik dan sebermanfaat kesibukan
Semoga kelak kita mampu melepas semua ego dan kekerasan hati,
untuk saling ikhlas menerima
untuk saling tulus memahami
untuk saling berupaya terbaik
demi mewujudkan sebaik-baik, seindah-indah, dan seberkah-berkah takdir Tuhan.







Bintaro, 12 Maret 2016
mahdarania

What will be, will be...



Kata seorang motivator bijak, sebutlah namanya Pak Mario, anak muda harus galau. 
Karena galau adalah pertanda anak muda mengkhawatirkan masa depannya, yang artinya, mereka peduli. Tapi, sekedar galau itu jauh dari kata cukup. 
Pemuda galau yang bertanggung jawab harus (berani) membuat daftar apa dan (si)apa saja yang layak diberi perhatian lebih.

Untuk pemuda-pemudi yang tengah menuntut ilmu, tentu wisuda masuk sebagai satu diantara prioritas pertama. Bagi pemuda-pemudi yang menginginkan kehidupan lebih baik atas dirinya dan keluarganya, maka pekerjaan menjadi pengisi baris teratas daftar tersebut. Pemuda, saya wakilkan untuk semua anak muda-lelaki maupun perempuan-, yang mencintai ilmu akan meletakkan program beasiswa dan peluang melanjutkan sekolah sebagai perburuan utama.

Untuk pemuda yang mencintai kedua orangtuanya, tentu mereka akan menyelesaikan studi seawal mungkin demi meringankan beban orangtua. Anak-anak muda yang menyayangi adik-adiknya akan menemukan berbagai cara agar menjadi sebaik dan sepantas panutan. 
Teruntuk kaum muda yang serius memperlakukan putra-putri orang lain yang dibebankan sebuah pengharapan untuk menjadi bagian dari cerita hidupnya kelak, maka lakukan yang terbaik.
Sebelum itu, uraikan definisi terbaik sesuai pemahaman dan cara kita sendiri.

Setiap orang berhak mendefinisikan dan berbuat sesuai apa yang dipercayai dan dipahami. Kultur nyata-nyata berlaku atas orang-orang yang hidup di tempat dan memiliki latar belakang serupa. Tidak ada kebenaran absolut, selain Tuhan.
Jadi, bukan tempat dan kapasitas saya untuk mengatakan bahwa pendekatan ala pacaran adalah pemahaman yang tidak baik. Hanya saja, tidak sesuai dengan pemahaman dan jalan yang saya pilih.

Lalu, apa yang saya pahami tentang interaksi antar lawan jenis dan jalan apa yang akan saya pilih?

Sebuah kebohongan jika saya mengatakan bahwa saat ini saya tidak membujuk dan meminta kepada Tuhan satu-dua nama yang saya kira tepat untuk saya perjuangkan.
Mengapa satu-dua nama? Seems like am a greedy girl, right
Bukan. Satu-dua, bahkan tiga atau empat nama tidak saya rapal di sujud-sujud dalam waktu bersamaan. People on our lives just like people on our social medias. Come and go.

Saya mengeja nama pertama saat masih berstelan putih abu-abu. Teman sekolah, klise sekali :)
Tapi percayalah, binar sederhana yang masih terbalut keluguan dan kepolosan ini terasa manis kala itu. Meski miris pada akhirnya, (yang bersangkutan gemar menebar perhatian kemana-mana), saya belajar bahwa selain tidak boleh berhenti berdoa, tidak sembarang nama pantas didoakan.

Nama kedua ternyata bukan pilihan Tuhan, meski pilihan hati saya. Sold out. Beliau menikah saat saya semester tiga. Saat mendengar kabar tersebut, saya terkekeh dan geleng-geleng kepala.
Lupa akan kutipan hadis tentang berburu yang sekufu, setara. Oke, pelajaran yang saya terima bertambah satu.

Nama ketiga saya eja ragu-ragu di hadapan-Nya. Mengapa saya ragu ? Karena beredar kabar, yang bersangkutan sudah punya calon. Benar saja, sedang persiapan menuju pernikahan.
Saya kembali geleng-geleng kepala dan terkikik. Pahit memang, tapi mau apa lagi. Saya kembali belajar bahwa keraguan dan status hubungan orang perlu dipertimbangkan sebelum menyelipkan sebaris nama dalam sujud. 

Kelihatannya menyedihkan, bukan? Seperti sosok Bolin dalam Serial Avatar: The Legend of Korra, yang harus tertolak dari Korra, Eska, dan Opal (walaupun akhirnya bersama Opal). 
Bedanya, Bolin harus menelan pil pahit karena menyatakan secara terus terang. Sedangkan saya hanya curhat kepada Tuhan, dan beberapa orang sahabat.
Apakah saya tertolak ? 
Officially, tidak. Alasannya ada dua hal. Yang pertama, orang-orang yang saya sebut adalah orang-orang penting yang memiliki banyak penggemar. Saya meyakini ada buanyak gadis yang kecewa dan patah hati selain saya. Ingat, kecewa dan patah hati, bukan tertolak. 

Kedua, sepertinya saya tidak buruk-buruk amat :p
Ada beberapa teman kampus yang secara eksplisit maupun implisit menunjukkan perhatian dengan berbagai cara. Seperti memberi hadiah ulang tahun, menelepon, bertanya kabar via personal chat, mengajak makan dan nonton, mengirimi lagu, menawarkan antar-jemput sesekali (emangnya ojek), bahkan menawarkan oleh-oleh. 
Nah, tidak terlalu buruk 'bukan?

Sebenarnya bisa saja saya 'pacaran' dengan salah satu diantara mereka. Tapi masa iya 'sih, karena patah hati dengan pemilik nama-nama yang saya doakan lantas membuat saya berhak melampiaskan kepada orang-orang yang baik terhadap saya? 
Tidak baik untuk saya dan tidak adil untuk mereka. Jadi, biarlah kita bersikap layaknya teman. Bertegur sapa, saling bertanya kabar, dan sesekali berdiskusi.

Well, tiga nama yang saya sebut sebelumnya sudah saya ikhlaskan dan saya doakan agar selalu mendapatkan yang terbaik. Meski untuk nama yang ketiga, terkadang masih terasa sensasi aneh saat melihat foto dan postingan beliau di media sosial. Maklum, kata orang, kita (baru) bisa ikhlas kalau yang bersangkutan udah sold out officially
Saya terkikik sendiri saat membaca ulang tulisan ini. Rasanya sudah ringan sekali.

Sekarang pertanyaannya, lagi kosong nggak nih?
Jawabannya tentu saja tidak. Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik-Adik saya sudah memiliki jatah permanen untuk terus disebut dalam tiap pengharapan terhadap-Nya. Lalu ada juga teman-teman yang daftar namanya kian bertambah. 
Selain itu, saya juga (sudah) punya nama keempat. Kalau ketiga nama sebelumnya selalu saya ceritakan kepada sahabat-sahabat dekat, untuk nama yang ini saya kira cukup saya dan Dia saja yang tahu. Biarin deh endingnya nanti seperti apa.
Que sera, sera... Whatever will be, will be.. The futures aren’t ours to see.. Que sera, sera... What will be, will be...




 


 Bintaro, 12 Maret 2016
mahdarania