Minggu, 20 Desember 2015

Aku (mau) Apa

BAM!!
Rasanya malu sekali. Sangat malu.
Ketika sadar bahwa cita-cita saya, walau mulia, sangat sederhana dan nyaris tidak ada kontribusi untuk orang banyak. Orang-orang di luar ‘lingkaran’ hidup saya.
Sampai tadi pagi, saya masih sering bermimpi, membayangkan bahagianya hidup yang akan datang bila akhirnya bersama dengan seseorang yang memang (sangat) saya suka.
Malu rasanya. Maluu sekali. Dangkal sekali bukan ?
Memang, menikah adalah sunah dan ada banyak keberkahan yang akan datang melingkupi hidup saya dan keluarga kelak.
Namun, sebelumnya, bukankah akan lebih indah jika sudah mempersiapkan dan mencapai banyak hal ?
Belakangan, saya punya satu pasangan favorit.
Faldo Maldini dan Davrina Rianda.
Faldo Maldini adalah ketua Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI) di United Kingdom. Faldo juga Presma BEM UI tahun 2012. Sudah lulus dari Imperial College London. 
Faldo adalah narasumber yang keterangannya akan saya gunakan sebagai bahan referensi untuk satu dari dua artikel saya di majalah Civitas vol. 17. Sudah menjadi kebiasaan, untuk berinteraksi, terutama untuk kepentingan peliputan, dengan narasumber. Interaksi pra peliputan ini well-known as stalking slash kepo.
Jadilah saya kepo-kepo tentang beliau, yang kebetulan tidak memprotek semua akun medsosnya sehingga mudah diakses. Kepo ini berbuah hasil at least dua hal penting. Faldo Maldini adalah sosok aktivitis yang penulis.
Seperti melihat sosok seorang Soe Hok Gie. Yang aktivis turun ke jalan dan juga menajamkan aspirasi melalui goresan pena. Saya belum mengonfirmasi apakah Faldo (pernah) ikut turun ke jalan menyuarakan aspirasi mewakili rakyat.
Faldo sudah menerbitkan sebuah buku berjudul "Karena Selama Hidup Kita Belajar". Saya juga menangkap bahwa Faldo adalah seorang inisiator dari pulangkampuang.com. Sebuah wadah yang menggerakkan pemuda-pemuda asal Sumatera Barat. (Lebih lanjut, kapan-kapan akan saya kepoin).
Davrina Rianda adalah dokter jebolan Universitas Indonesia yang punya usaha yang bergerak di bidang fashion muslim.Sebuah brand  bernama Chuw.  Dokter muda nan cantik ini juga aktif menulis di www.missdavrina.tumblr.com
Pemuda pemudi ini serius menghidupi hidupnya dan menggerakkan orang-orang disekitar maupun di luar lingkarannya. Hari ini, saat bercermin, sesuatu yang selalu saya lakukan setiap bangun dari tidur, saya berkaca menembus jauh ke relung hati dan pikiran.
Come on, Mut. Selama ini saya hanya bercermin untuk melihat “kekurangan” pada diri saya secara fisik. Girls thing memang, tetapi I just realize these girls thing is not so important thing. Terlalu gemuk, kurang ini, kurang itu and lil stuffs others. . .
Ya Allah, ketika banyak aktivitis yang bergerak dan berdakwah demi kemaslahatan orang banyak diluar sana, egois sekali disaat bersamaan saya hanya termangu didepan cermin sembari memandangi hasil ciptaan terbaikNya dengan perspektif seorang hamba yang ‘sedikit’ menggugat dan kurang bersyukur.
Malu. Malu sekali. Sangat malu, sehingga air mata ini tidak bisa dibendung saat menyentuh sajadah. Engkau sudah sangat baik menciptakan dengan sangat sempurna, tanpa cacat fisik dan mental. Maafkan kebodohan hamba yang sangat sok tahu ini, ya Allah.
Disaat saya merenungi kenapa Allah tidak memberi bentuk tubuh layaknya seorang Meyda Sefira, tentu akan jauh lebih bermanfaat bila digunakan untuk memikirkan ide-ide besar serta membuat rancangan untuk mimpi-mimpi (besar) yang saya punya.
Lebih malu lagi saat tiga bulan lalu saya memutuskan untuk rutin berolahraga demi memantaskan diri untuk seseorang yang rasanya sangat saya sukai. Kenapa ? Karena yang bersangkutan tampan, berwibawa, agamis dan secara fisik menarik, proposional. Hey, men are visual characters. They always looking for the beauty things. For anything.
Sejak sebelumnya saya sadar,meski penting, fisik bukan hal utama. Saya sudah merencanakan untuk terus mengembangkan potensi diri yang saya punya. Melanjutkan menghafal Al-Qur’an, menajamkan daya analisis dan sensitivitas melalui hamburan kata-kata dalam bentuk lisan dan tulisan, berusaha untuk selfless, menghentikan pembicaraan yang tidak penting, seperti menggunjing dan membicarakan hal-hal yang mengarah pada maksiat, mengupgrade kemampuan public speaking dalam bahasa Indonesia terlebih in English.
Saya merencanakan. Saya mengeksekusi satu per satu resolusi yang saya miliki. Beberapa mulai terealisasi, sayangnya tidak konsisten. Jeda UTS sebulan membuat saya lebih memfokuskan pada belajar dan menghentikan sementara aktivitas olahraga. Menulis. Memikirkan ide-ide.
Crap. Saya sadar seorang yang inkonsisten. Dan ini tidak baik.
Terlebih sempat mental breakdown saat mengetahui ybs ternyata sepertinya sudah "taken". Dangkal banget saya emang. Malu dan malu-maluin.
Disini saya belajar untuk memperbaiki mood, perasaan sendiri dan mulai menyusun rencana baru. Yang saya sadari, niat yang benar dan kuat adalah landasan tak terbantahkan untuk melakukan apapun secara konsisten.
“Perbaiki niat. . . “
“Innamal a’malu binniyah. . .”
Oke fix. Perbaiki niat. You don’t do all those stuffs for anyone else, but yourself. Semua untuk diri sendiri, orang tua (keluarga) dan karena Allah. Udah itu aja. Kalo ikhlas, rutin dan ga ngeluh, hal-hal baik bakal dateng, kok. 
Kemampuan saya untuk bersyukur juga harus terus diasah. Daripada menggugat atau memprotes “Kenapa bla bla. . .?”, lebih baik energinya disimpan dan dialihkan untuk mengeksplor diri.
Yah, ini semua self reminder untuk saya. Bahasan diatas hampir sebagian besar saya jelaskan secara detail. Hanya beberapa informasi yang tidak etis saya sampaikan yang saya tidak sebutkan.
Menghafal Al-Qur’an. Yang ini butuh niat yang kuat, ketekunan, dan konsistensi. Mudah  menyerah saat menghafal Al-Qur’an memang sering ditemui pada orang-orang yang sedang berproses menjadi hafidzh / hafidzhah.
Bayangkan, surah Al-Mulk yang cuman 30 ayat, dari jaman kapan belum kelar juga. Juz 30 kebanyakan udah lupa karena hampir nggak pernah dimurajaah kecuali surah-surah tertentu.*menghela nafas*
Ya Allah. Lalai banget ya hidup saya selama hampir dua puluh tahun ini.
Oh iya, satu lagi yang jelek dari saya. Selain sering mempermasalahkan fisik things, saya juga terkadang terlalu memikirkan omongan orang. Padahal, tangan yang dua ini emang bukan untuk membungkam mulut semua orang, tetapi untuk menyaring dan menutup kedua telinga untuk omongan yang berhamburan dimana-mana.
Saya sengaja menceritakan saat ini. Disini. “Sin Lists” ini saya ungkapkan agar sedikitnya bisa berangsur-angsur terkikis dari diri dan hidup saya. 
Sebenarnya saya masih memiliki stok cerita yang akan disampaikan. Namun, berhubung sudah mengantuk sekali dan besok kuliah pagi plus presentasi, saya akan lanjutkan besok lagi.
See yaaa
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Bintaro, 8 Juli 2015 (00.14 WIB)

Senja Ber-abu



Berbeda dengan kebanyakan orang, saya cenderung menghindari kata “senja”. Ada gelombang kuat kesyahduan yang menghampiri bersamaan.

Entahlah, senja seperti penutupan hari. Momentum ketika matahari meminta diri untuk berkelana ke belahan bumi yang lain. Bukan. Bukan saya ingin bertemankan mentari sepanjang hari, 24/7. Tentu istilah malam akan terdengar tabu.
Saya hanya tidak nyaman saat harus merasa sendirian.

Berkampus di tanah rantau ini, aktivitas perkuliahan tergelar dari pagi hingga petang. Baru belakangan ini banyak yang kuliah malam. Pun tidak termasuk kelas yang saya hadiri.
Otomatis, pukul lima sore adalah waktu untuk membersamai ruang 2,5 x 3,5 meter ini lebih erat. Ah, saat segrambeng aktivitas selama empat semester silam menjerat kaki dan tangan untuk tetap di luar, saya sering mengeluh kurang tidur, kurang punya waktu me-time.
Sekarang, saat waktu terhampar lebih panjang, mengapa saya kehilangan ? Terlalu banyak waktu untuk diri sendiri membuat saya merasa lebih intim dengan kesyahduan senja.

Mungkin saya hanya rindu bangunan hangat bernama “rumah”. Mungkin saya hanya sedang bingung mengonversi energi yang biasanya terpakai untuk beraktivitas di luar kosan, karena membuka dan membuat text line di diktat bukanlah pilihan saya untuk setiap malamnya.

Yang saya sadari, saya sedang kehilangan kebiasaan. Kehilangan ini memaksa saya berteman dengan hal baru. Senja yang syahdu.

Senja yang syahdu saya kecap tatkala berkumpul dengan manusia-manusia kecintaan saya, keluarga. Dimulai dengan shalat maghrib berjamaah, tilawah lalu makan malam. Dan ini versi syahdu yang saya sukai.
Karena insan kocak yang berwawasan luas bernama Ayah selalu punya bahan obrolan selama makan malam. Lalu ada ciptaan Tuhan yang saya puja bernama Ibu, yang tak pernah alpa menghadiahi perut-perut kelaparan kami dengan masakan lezat nan bergizi. Sebut saja mereka Adik-Adik. Manusia-manusia dengan umur terpaut tiga, lima bahkan sebelas tahun lebih muda ketimbang saya yang celotehannya saya rindukan selama merantau. Tak hadir secara fisik tidak lantas membuat aliran darah terlupakan. Laki-laki kedua yang saya rapal namanya di tiap sujud setelah Ayah, Kakak. Berlabuh di Semarang sebagai mahasiswa Undip menjadikan kehadirannya sebagai barang langka di rumah. Namun, setiap kepingan cerita tentang Kakak adalah topik menarik bagi kami semua.

Syahdu. Walau mulai terkikis dengan anggota keluarga yang pelan-pelan meninggalkan rumah. Dua tahun yang lalu, Ibu mengalah untuk semangat belajar saya dan melafalkan ribuan untai doa indah dibarengi beberapa titik airmata. Saat saya resmi menjadi mahasiswi STAN.
Jauh sebelum itu, sepuluh tahun silam, untuk pertama kalinya, Kakak dilepas sekolah ke Jawa Barat. Banjir airmata dan berbuncah kekhawatiran mengiringi.
Tahun depan, giliran si Tengah yang beranjak kuliah. Medan bukan tempat pilihan untuk berkuliah, itu prinsip kami.
Kini Ayah dan Ibu bukan hanya menaikkan laju pedal demi mempersiapkan keberangkatan Adik, tetapi juga menata hati untuk kembali ‘mengalah’ atas nama semangat belajar.
Tak banyak yang tahu, hingga sebuah pesan terbalut pertanyaan terlontar ringan, “Mbak Muti magang di Medan, kan ?”. Tahun 2016, si Tengah dan saya  lulus berbarengan. Yang artinya, si Tengah akan merantau, dan saya kembali, meskipun sementara.

Syahdu. Walau kian kemari kian tergerus dengan banjiran aktivitas. Saat saya berlibur dua bulan yang lalu, saya mengenal syahdu lain versi.
Jarang sekali shalat maghrib berjamaah lagi, terlebih dilanjutkan tilawah. Makan malam adalah prosesi makan sendiri-sendiri.
Bukan hilang dengan disengaja. Kondisi memang berpotongan, namun sayangnya bukan di rumah, tapi di tempat-tempat lain. Adik-Adik sekolah ibarat para pekerja. Dari pagi hingga petang. Ayah dan Ibu berboncengan menjemput rezeki bahkan hingga larut malam.

Ah, saya merasa lebih sendiri saat kemarin. Ironi memang, adaptasi dengan syahdu versi ini terasa sedikit ganjil.
Tapi, saya tidak mengharapkan Ayah, Ibu dan Adik-Adik berhenti dari proses ini. Karena semua proses ini adalah perjuangan.
Lihatlah, malaikat mana yang menolak melindungi kaki-kaki yang menapak untuk menjemput rezeki serupa ilmu dan harta yang mencukupkan ?

Pada akhirnya, saya mengerti.
Senja bukan pelarian atas ketidaksiapan manusia menjemput malam. Senja adalah gerbang pembiasa pergantian dimensi waktu.
Tanpa senja, mungkin mata ini akan mengerjap bingung saat mentari berpindah. Tanpa senja, mungkin maghrib bukan waktu yang sakral untuk bersimpuh menghamba-Nya. Tanpa senja, mungkin manusia tak kenal bisnis dan waralaba sesederhana takjil. Tanpa senja, mungkin kita bukan apa-apa.
Karena kesyahduan senja adalah awal dari apa-apa yang sudah diakhiri. Dan sesyahdunya senja adalah yang menghentak untuk mempersiapkan kehidupan esok pagi lebih baik lagi.

Syahdu yang harus saya biasakan keberadaannya. Seperti kesyahduan mengikhlaskan sedikit waktu belajar untuk UTS besok demi luapan asa di ujung jemari ini.






Bintaro, 30 November 2015
mahdarania

Warna dalam Batas



Warna bukan yang semata ditangkap oleh indera. Pecinta kegelapan bukan tidak mengenal apa itu merah, biru, hijau, ungu dan seterusnya. Namun mereka memiliki versinya sendiri. Yang tak perlu kau paksa untuk pahami. Karena selalu ada warna dalam batas.


Semburat
Jangan pernah salahkan semburat
Ia bukan gerbang pemisah
Melainkan tumpukan warna pengiring mentari berpindah

Kabut
Jangan dustai keberadaannya
Ia hadir bukan untuk menghalangi jarak pandang
Tapi sebagai pembatas agar kau pahami warna selain kelabu

Aku mencintai semburat
Seumpama aku merindukan pembatas buku harianku
Yang saat kehilangannya, aku tersesat di perjalananku sendiri

Aku mencintai kabut
Laksana daun yang ditetesi embun pagi
Ikhlas, tulus, tanpa pamrih
Sehebat pertanda, bahwa semesta menyambutmu sukacita

Aku mencintai putih, merah, biru dan kuning
Karena gradasi takkan bermula tanpa kehadiran mereka


Aku mencintai putih, merah, biru dan kuning
Yang mengajarkanku, untuk hasil tak terhingga, ada awal yang dapat dikera

Aku, kamu, kita, mereka adalah manusia
Paduan harmonik antara angin, daging dan tulang dalam satu raga
Rambutku hitam bergelombang, kulitku kuning langsat, bibirku merah muda dan aku “satu”

Jangan tanyakan warna pipi dan hatiku
Pipiku seumpama delima kala hatiku berbunga

Aku mencintai Rabb-ku
Dari-Nya, melalui sepasang malaikat duniaku, aku diajarkan mencintai hijaunya daun, menikmati mentari yang keemasan dan memaklumi hitamnya malam.

Aku mencintai Rabb-ku
Yang meniupkan serpihan cinta-Nya di hatiku
Hingga aku sanggup mencintai ciptaan-Nya yang lain

Aku mencintai Ibuku
Darinya kuwarisi kecintaan terhadap keseimbangan
Bahwa tak harus seragam, namun selaras
Tak harus se-iya sekata, namun harmonis

Aku mencintai Ayahku
Seperti aku memahami mengapa Adam harus terusir dari Surga
Yang mengajarkan bahwa kebenaran bukan barang tawaran
Yang menegaskan bahwa hitam dan putih bukan sekedar warna

Aku belajar dari elegi
Elegi tak selamanya duka dan luka
Ia memaksaku mengerti, ada rasa selain nikmat
Karena warna bukanlah apa yang ditangkap oleh mata
Melainkan apa yang telah diterjemahkan hati dan diinterpretasikan lewat indera

Karena waktu dan jarak bukanlah batas
Melainkan sahabat
Selalu ada temali tak terlihat yang menyambungkan

Karena hakikatnya hati manusia adalah serpihan kemuliaan Tuhan
Dan Tuhan tak pernah berhenti untuk “ada”.


Bintaro, at the time
mahdarania

Muharramku, Hijrah Kita



Dinda masih mengernyitkan kening.
Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang Ami, yang dilabeli sebagai cewek paket komplit seantero sekolah kini berubah menjadi seorang gadis pendiam, lebih suka menyendiri dan berbaju aneh ?
Dinda merasa bingung sekali. Kemana perginya Ami yang gaul ? Disimpan dimana semua baju-baju modis yang dulu kerap dipakai setiap acara di sekolah ? Kemana Ami yang asyik dan bersuara merdu ? Kenapa Ami kelihatan sangat nyaman dengan baju kedodoran dan jilbab lebarnya ? Lalu, apa pula itu kaus kaki dan manset yang kini menghiasi tangan dan kaki Ami ? Bahkan dulu Ami yang dikenalnya merasa tak perlu repot berkaus kaki atau berlengan panjang.
Dinda merasa sangat kehilangan. Setiap ada yang bertanya keheranan, menyindir bahkan mencemooh, Ami hanya tersenyum dan berkata, “Aku sedang mensyukuri semua nikmat Allah yang sudah aku terima”. Hei, kemana sapaan akrab ‘gue-elo’ Ami ? Sejak kapan pula dia berhenti menyisipkan bahasa Inggris di sela-sela obrolan ?
Dinda semakin tidak mengerti. Ia memang bukan sahabat Ami. Dinda hanya sekelas dengan Ami saat duduk di bangku kelas dua SMA Pelita Harapan. Namun bagi Dinda, Ami adalah role mode terhebat yang pernah ia temui. Semenjak bertemu dan mengenal Ami, Dinda terpacu untuk belajar dan berusaha lebih keras tentang apapun. Nilai 60-70 di rapornya kini terlapis sempurna dengan serendahnya angka 85. Setiap malas menerpanya, ia selalu melihat Ami. Hei, Ami sudah sangat cerdas, sudah pernah menjadi perwakilan pertukaran pelajar ke  Boston dalam program American Field Service (AFS). Namun Ami tidak pernah terlihat malas belajar atau bertanya, yang anehnya justru menjauhkan Ami dari kesan pamer dan caper. Seorang Dinda yang cuek juga bisa melihat kesungguhan dan ketulusan Ami dalam bertindak.
Soal olahraga pun, Dinda yang pemalas kini menguasai voli dan basket. Semua karena Ami. Ami yang seorang sprinter dan perenang. Ups, Ami juga pintar bernyanyi dan menggebuk drum. Dinda merasa, jika ada parameter 1-10, maka ia memberi 9,8 untuk seorang Ami.

Semua kebisaan dan perilaku ramahnya menjadikan Ami seorang yang sangat menarik. Wajah ayu khas gadis jawanya terlihat lebih memikat. Untuk beberapa saat, warga SMA Pelita Harapan percaya, malaikat itu ada. 

Sudah lewat dua minggu, Dinda membatin. Ia benar-benar sudah tidak tahan lagi. Tepat setelah bel istirahat pertama berdentang, Dinda langsung melesat ke kelas 3A-A, kelas Ami. Kebiasaan baru Ami setiap jam istirahat adalah bertandang ke mushola. Dinda sudah tau hal itu, sehingga ia menunggu Ami di depan kelas dan mencegatnya.
“Um, Ami. Apa kabar ?” Dinda bahkan tidak mengenali suara yang keluar dari kerongkongannya. Canggung bercampur tak acuh.
“Hai. Alhamdulillah sehat. Dinda ya ? Dindaa, apa kabar ?” Ami menjawab antusias.
“Sehat, Mi. Ya masih gini. Lu tau sendiri, lah.”
“Duh, tambah cantik aja ya, Din. Gimana pelajaran ? Masih jago banget Fisika dong ya,” Ami terlihat sangat ramah.
“Haha, gue mah bisanya emang itu doang kali, Mi. Beda lah sama elu yang dilemparin apa aja pasti langsung jago.”
“Bisa aja sih Dinda. Eh iya, ngomong-ngomong, kamu mau kemana ? Tumben banget mampir.”
“Um, gue mau ngobrol aja sih. Ada yang mau gue tanyain ke elu.”
Ami tersenyum. “Sekalian aku jalan ke mushola, gapapa ya ?”
Bahkan buat jalan aja dia masih minta izin ke gue, Dinda mencelos.
“Nyantai aja, Mi.”


Perumahan Puri Merak Indah.
Dinda masih tercenung. Ia sibuk mencerna dan menebak-nebak kepingan cerita yang belum rampung disampaikan Ami kepadanya. Tadi pagi, selepas Ami shalat Dhuha di mushola, Dinda tak kuasa menahan pertanyaan-pertanyaan yang menjejal di benaknya selama dua minggu terakhir.
“Mi, udah kelar shalat ‘kan ya ?” Dinda bertanya hati-hati saat melihat Ami tengah melipat mukena.
“Udah kok. Mau ngobrolin apa sih, Din ? Kok aku penasaran banget ya ?” Bola mata Ami membesar ingin tahu.
“Ga penting-penting banget juga sih sebenernya, Mi. Gue aja yang ‘terlanjur’ kepo.”
“Bukannya kamu jarang kepo ya, Din.” Ami terkikik.
Dinda hanya tersenyum masam, merasa tertangkap basah.
For serious and no hard feeling at all ya, lu kok berubah banget sih, Mi ?
Ami terdiam sejenak.
“Berubah gimana maksudnya ?”
“Em, gimana ya ? Banyak lah. Dari cara berpakaian elu, cara ngomong elu, cara bergaul elu, sampe kebiasaan elu, Mi. Heran gue.”
Ami tersenyum. Belum sempat ia menjawab, Dinda sudah menyambar lagi.
“Lu mungkin bakal bilang kalo lu lagi berusaha bersyukur. Tapi gue nggak ngerti aja, kenapa cara bersyukur elu kayak gini.”
“Wah, ada yang kepo beneran ya.” ujar Ami seraya mengulum senyum.
“Kalo aku boleh bilang ya Din, kamu mungkin orang ke sekian yang nanyain perubahan aku.”
“Sebelum aku jawab deh, mau nanya dulu. Emang menurut kamu, perubahan ini nggak pantas ya ?”
Dinda tergagap. Ia tidak menyangka bakal ditanya seperti itu.
“Bukan nggak pantas, sih. Tapi aneh aja menurut gue, Mi. Nggak lu banget lah.”

“Aku mau cerita, Din. Karena kayaknya kamu itu bener-bener pengen tau. Bukan buat nyari bahan obrolan di belakang aku. Yah, walaupun kalo emang diomongin, aku juga nggak masalah.”
Dinda manggut-manggut mempersilakan.
“Ayah dan Ibuku itu orang sibuk. Aku bahkan jarang ketemu mereka di rumah. Tapi aku nggak pernah ngerasa kurang kasih sayang. Walaupun jarang pulang, tiap hari mereka nanyain langsung dan telpon kabar aku gimana, ngapain aja di sekolah, udah makan belum. Bahkan mereka nanyain aku kuis atau nggak, kapan ujian, mau hadiah apa buat kenaikan kelas.”
“Tiap weekend, Ayah selalu di rumah. Ibu juga masak besar. Heboh, deh. Kalo aku tanya kenapa repot-repot padahal tiap hari juga udah capek ngantor, kamu tau Ibu bilang apa ?”
Dinda menggeleng.
“Ibu bilang gini, “ Selama tujuh hari seminggu, Ibu cuma bisa masakin kamu paling banyak dua kali, Mi. Ibu tau masakan si Mbok sehat, karena Ibu yang belanja dan Ibu kontrol terus, tapi Ibu nggak mau kamu lupa sama masakan Ibu. Ibu juga mau kamu sehat terus, Sayang”.”
“Ayah juga, Din. Aku jarang banget ngeliat Ayah megang gadget tiap weekend. Beliau pasti baca koran dan ngajak isi TTS bareng.”
“Aku jadi paham, kenapa jarang ngerasa kesepian meskipun aku anak tunggal. Karena orangtuaku berusaha nunjukkin kalo mereka selalu inget anaknya, sesibuk apapun.”
“Rasanya semua berjalan mulus dan ideal. Sampe akhirnya aku ngeliat Ibu nggak ngantor. Kebetulan aku lagi di rumah, pulang cepet abis pemilihan OSIS di sekolah. Hari itu Ibu bongkar-bongkar arsip lama. Karena penasaran, aku masuk kamar Ibu. Pengen bantuin ngerapiin.”

Sesaat Ami terdiam. Suaranya tercekat dan matanya berkaca-kaca.
“Kamu tau Din, Ibu lagi nangis. Ibu nangis sambil ngeliat akte kelahiran. Aku kirain punya siapa. Ternyata itu akte kelahiran anak laki-laki yang seharusnya jadi kakakku, Din.”
“Kakak laki-laki ? Bukannya lu bilang, lu anak tunggal ya, Mi ?”
Ami menggeleng pelan.
“Aku kira awalnya begitu.” ucap Ami lirih.
“Ternyata, kakakku, Mas Harris, sempat merasakan kasih sayang Ayah dan Ibu selama tujuh belas hari. Lebih dari itu, Allah sayang banget sama Mas Harris. Mas Harris meninggal di usia ke delapan belas hari, Din.”
“Dulu, Ayah dan Ibu masih susah. Belum sampe Jakarta malah. Kata dokter, Mas Harris meninggal karena kurang asupan gizi. Kamu bisa bayangin Din, anak pertama, laki-laki pula. Meninggal di usia yang sangat muda.”

Dinda tertegun. Ia tak menyangka, ada cerita pahit di hidup seorang Ami.

“Selain Ibu, Ayah yang paling terpukul. Beliau menyalahkan diri sendiri karena nggak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Ayah dendam ke dirinya sendiri. Satu bulan kemudian, Ayah mutusin kalo mereka harus pindah ke Jakarta. Mengadu nasib.”
“Ayah dan Ibu bekerja sangat keras. Siang malam. Mereka juga memutuskan untuk menunda punya anak sampai mereka merasa benar-benar siap.”
“Tahun ke lima di Jakarta, Ibu hamil. Sembilan bulan kemudian, aku lahir. Eyang Kakung yang memberikan nama. Maharrami Hijratillah.

Teeeeeeeeeetttttttttttt !!!!
Bel tanda istirahat usai berbunyi. Dinda dan Ami berjanji untuk bertemu lagi di tempat yang sama esok hari.
Esok siangnya, sambil mengunyah roti, Dinda berjalan santai menuju mushola. Ami tampak sedang khusyuk sholat Dhuha’. Iseng, Dinda melongok ke dalam dan tertegun melihat wajah Ami. Teduh dan damai.
“Udah lama, Din ?” ujar Ami mengejutkan.
“Eh, enggak kok. Gue baru nyampe. Khusyuk amat lu shalatnya.”
Ami hanya menanggapi dengan tersenyum.
“Lanjut cerita kemarin lagi dong, Mi.”
“Eh iyaa, udah sampai mana kemarin ?”
“Sampe lu lahir dan Eyang lu ngasih nama.”

Ami terlihat menerawang sesaat, lalu melanjutkan dengan tenang.
“Iya, jadi pas aku lahir, Eyang Kakung ngotot ngasih nama. Beliau bilang, karena cucu perempuan pertama. Dan namaku ternyata maknanya dalam, loh.”
Dinda terlihat antusias mengikuti.
“Oh ya, emang artinya apaan, Mi ?”
“Aku lahir bertepatan dengan tahun baru Islam. Makanya awalannya “Maharrami” asal kata “Muharram”. “Hijratillah” artinya “Hijrah karena Allah”. Lewat aku, Eyang pengen ngingetin Ayah dan Ibu. Bahwa tujuan hijrah, pindah, harus karena Allah. Bukan karena harta, apa lagi karena dendam ke diri sendiri.”
“Yang bikin aku kaget, Ibu justru inget arti namaku belum lama. Pas Ibu bongkar-bongkar arsip dan nemu akte kelahiran Mas Harris.”
“Tambah nyesek rasanya pas Ibu nangis minta maaf, karena selama 16 tahun, nggak pernah ngedidik aku secara agama.”
Kali ini air mata Ami benar-benar tumpah. Tetes demi tetes mengalir memperlihatkan bekas berkilau di pipi Ami.

“Ami. . . .” Dinda kehabisan kata-kata. Ia merangkul dan mengusap punggung teman yang dulu diidolakannya.
“Ibu meluk aku kenceng banget. Beliau sesenggukan minta maaf karena belum jadi contoh baik buat aku. Bahkan beliau minta maaf karena nggak pernah menasihati gimana cara berpakaian yang sopan.”
“Demi Allah, aku nggak tahan sekaligus nggak paham ngeliat Ibu nangis. Selama ini, aku ngerasa Ibu udah hebat banget. Beliau modis, keren, cerdas dan penyayang. Ibu juga open-minded banget, sampe-sampe aku mau beli baju, aksesoris, sepatu, tas, kayak apa aja, Ibu nggak ngelarang. Karena Ibu tau aku udah gede.”
Like mom, like daughter ya Mi.” Dinda menenangkan.
“Iya, Din.” Ami terkekeh pelan.
“Pas aku naik ke kamar dan ngelewatin cermin, aku terdiam sebentar. Aku perhatiin pakaianku dari atas ke bawah. Aku masih merasa nggak ada yang salah sama penampilanku.”
“Sampe akhirnya aku iseng nonton kajian muslimah di TV. Pas banget lagi membahas batasan aurat perempuan dan adab berpakaian. Kaget banget rasanya. Ternyata selama ini aku ngumbar aurat kemana-mana. Astaghfirullah.”
“Tapi aku nggak langsung ngerubah penampilan. Aku cari buku-buku tentang Islam. Alhamdulillahnya, Ayah dan Ibu udah tergerak duluan. Kita belanja buku-buku bareng. Kita juga jadi lebih sering diskusi soal Islam, nonton kajian-kajian. Alhamdulillah sejak tiga minggu lalu, Ibu mulai aktif pengajian.”
Ami tidak bisa menyembunyikan rona bahagianya.
“Setelah mantap, akhirnya aku dan Ibu bertekad untuk pelan-pelan berusaha mengikuti  yang diperintahkan Allah dan menjauhi yang dilarangNya. Yaah, dari yang paling dasar, Din. Pake jilbab.”
“Lu langsung pake baju yang longgar-longgar begini emang nggak panas, Mi ? Maksud gue, kalo mau, apa tadi bahasanya, hijrah ya, pelan-pelan dulu. Menurut gue, sih.”
Ami kembali tersenyum.
“Sehari sebelum aku mutusin buat berjilbab, pulang sekolah, aku ngeliatin baju apa yang aku pake hari ini. Aku malu banget, pas nyadar betapa pendeknya rok sekolah, tipis dan berlekuknya kemeja, leher kemana-mana. Sejak hari itu, aku bilang ke Ibu kalo aku mau berjilbab. Aku jelasin semua kemungkinan yang bakal terjadi. Termasuk tanggapan teman-teman di sekolah. Alhamdulilah Ibu dan Ayah mendukung banget. Ibu juga akhirnya mutusin untuk berjilbab.”
“Eh, aku cerita panjang banget kayak ceramah. Kamu bosen deh, Din. Maaf yaa.”
“Santai, Mi. Gue nikmatin, nih.”
“Eh iya Mi, iseng doang nih ya, kenapa lu nggak pake jilbabnya pas ulang tahun lu aja ? Pas bulan Muharram. Kan tinggal sebulan lagi, nih. Biar pas sweetseventeen elu.” Dinda berkata sembari mengecek kalender di ponsel pintarnya.
“Kenapa harus nunda, Din ? Umur siapa yang tau. Lagian, hidayah Allah itu nggak dateng dua kali, loh.”
Dinda hanya manggut-manggut sambil berpikir entah kemana.

Selepas percakapan hari itu, Ami dan Dinda hampir tidak pernah bertemu lagi. Keduanya sama-sama sibuk untuk persiapan Ujian Nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi.

Satu bulan kemudian di Perpustakaan.
“Assalamu’alaikum, Ami.”
“Wa’alaikumussalam. Iya ?” Ami memutar tubuhnya
Ami hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dinda yang berbaju panjang, longgar dengan manset dan kaus kaki serta jilbab lebar yang menutupi hingga punggung.
“Masya Allah Dindaa. Ini beneran Dinda ?” Ami terpekik hingga lupa sedang berada dimana.
“Sstt, malu didenger orang, Mi. Iya, ini aku, Dinda.”
“Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillahirabbil’alamin. Sini sini Din, cerita dong.”
Ami menarik tangan Dinda dengan semangat ke sebuah meja dan kursi terdekat.
“Cerita apa, Mi ?” Dinda tersenyum malu-malu.
“Apa aja, Din. Hijrahnya kamu.”

Hijrah. Kata yang dulu asing dan kini menelusup indah di hati Dinda.

Setelah pertemuan terakhir dengan Ami, Dinda menjadi seorang yang lebih pemikir. Ia mulai mencari-cari informasi seputar Islam, mengikuti kajian-kajian muslimah dan bertemu dengan banyak orang baik yang membantunya memperdalam Islam.
Ia juga rajin membaca buku dan berdiskusi. Sifat cueknya perlahan-lahan luntur. Tutur kata dan perangainya kian melembut.
Hingga akhirnya, tepat seminggu yang lalu, Dinda memutuskan untuk berhijrah.

“Ternyata butuh satu bulan untuk meneguhkan hatiku, Mi. Setelah banyak membaca, berdiskusi dan bergaul dengan orang-orang baik akhirnya aku mantap berjilbab, Mi.”
Rasa haru seketika menyelimuti Ami. Dinda yang cuek, tomboy, urakan namun pintar, pemalas dan anti-sosial, ceplas ceplos namun ia yakini baik hatinya, kini sudah menapaki langkah awal sebagai muslimah.
“Mama awalnya juga nggak setuju. Beliau bilang, nikmati masa muda aja dulu. Tapi pelan-pelan aku kasih penegertian. Alhamdulillah akhirnya, Mama mendukungku berjilbab, Mi.”
“Dindaaa.” Ami tak kuasa menahan haru dan memeluk teman yang kini menjadi sahabat seperjuangan sekaligus saudarinya.

Apa yang lebih indah dari dua sahabat yang kini menjadi saudara, yang sama-sama menapaki jalan Allah untuk menggapai ridho-Nya.

“Nggak panas, Din ?” Ami menggoda.
“Hm, panasan neraka deh kayaknya, Mi.”
“Bisa aja kamu, Din.”
“Nggak nunggu umur 17 tahun, Din ? Biar sweetseventeen gituu.” Ami kembali menggoda sembari memberi penekanan pada kata ‘sweetseventeen’.
“Ini sekalian menyambut tahun baru Muharram, Mi. Bersyukur kepada Allah karena sudah mempertemukan aku dengan sahabat yang luar biasa kayak kamu.”
“Sebentar lagi, Muharram kan, Mi ?”
“Tanggalnya pasti nggak sama persis lah secara Masehi, tapi kalo Hijriyah pasti cocok. Iya kan, Mi ?”

Ami tertegun memandang Dinda. Ia sadar sudah memiliki kado terindah untuk ulang tahunnya kali ini. Orang bilang angka 17 adalah angka yang sakral, kini Ami mengamini. Di usia yang ke 17 Allah kirimkan hidayah atas diri dan keluarganya, bahkan kepada orang yang tak ia sangka-sangka. Teman sekelas saat kelas 2, Dinda yang kini menjadi sahabatnya.
“Jazakillah ukhty. Makasih banyak Dindaa. Semoga persahabatan kita kelak hingga ke Jannah-Nya. Aamiin. Makasih Dinda.”
Terbalik Ami. Aku yang berterima kasih. Dulu hingga sekarang, kamu selalu menginspirasiku. Semua perubahanku perantaranya adalah kamu, sahabatku. Jazakillah ukhty, ana uhibbuki fillah. Terima kasih ya Allah. Dinda membatin syahdu.