Minggu, 20 Desember 2015

Bungong Jeumpa Berbaju Zirah




Jum’at, 22 Mei 1998
Sudut kota Aceh seakan bisu malam ini.
Memang tak ada yang ingin keluar. Tak seorang pun.
Konflik antara pemerintah Indonesia dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) belum mereda. Jam malam mulai diberlakukan. Di atas pukul delapan malam hampir sejurus kota akan senyap. Penduduk negeri serambi Makkah ini lebih memilih meringkuk nyaman di dalam rumah. Saat pemerintah tak sanggup menjamin nyawa rakyat Aceh, siapa pula yang akan menggadaikan seharga murah ?

Degup jantung Cut Isna bertalu-talu. Arloji di pergelangan kirinya mengarah ke pukul 19.45. Setengah merutuk, setengah bertasbih. Kenapa Teuku harus menahannya di ruang sekretariat BEM. Kenapa ia mau saja disuruh menunggu sesuatu yang katanya penting. Kenapa ia tak segera sadar, Teuku bukan ingin membahas organisasi.
“Astaghfirullah, selamatkan lon Ya Allah”.
Sama – sama bermasalah bila di tengah jalan ia harus berpapasan dengan TNI maupun GAM.

Di komplek BTN Ajun, Abah Rafji dan Umi Hayati terlihat gelisah menunggu di depan rumah. Si bungsu Icut belum pulang. Ponselnya mati. Teman-teman kampus mengaku sudah tiba sedari sore.
“Abah, Icut kemana, Bah. Ya Allah, ini udah mau malam,“ Umi berseru gelisah.
‘‘Abah hana tau, Mi. Abah juga baru pulang. Abah tengok lah ya ke Simpang Dodi sekarang ?” Abah berusaha menenangkan.
Umi hanya mengangguk lemah.

“Pinggir, Bang !!” Cut Isna berseru kencang.
Labi-labi yang ditumpanginya menyingkir ke perempatan Simpang Dodi. Tergesa mengeluarkan pecahan seratus rupiah, Cut Isna langsung melesat ke seberang.
Sambil terus berdzikir, Cut Isna menggegam tas tangan dan memeriksa ponselnya. Mati.
Pasti Abah dan Umi khawatir sekali, desahnya.

Jarum jam bergerak menuju pukul 20.05, dari kejauhan Cut Isna mengenali sesosok lelaki paruh baya yang mengendarai sepeda motor dari arah Lamteumen.
“Abaaaaaaaaahhh!!!!”  Cut Isna memekik sembari melambaikan tangannya.
Kereta Honda yang dikendarai Abah Rafji melambat saat mendekati Cut Isna.
Ke ini kemanalah, Icut. Hape mati, pulang sendiri. Hana pahamkah kondisi lagi rawan ?”Abah mencecar dengan gusar.
“Maaf, Bah. Tadi ada urusan sebentar di kampus.”
“Ya sudah, cepat naik. Umi khawatir sekali. Buat stress orang tua saja.”
“Maafkan Icut, Bah.” Cut Isna tertunduk semakin dalam.
Ujung kerudung merah mudanya terjuntai hingga ke paha.
Deru angin malam mendesau di telinga Cut Isna.
Lengang, senyap. Hampir semua rumah dari sepanjang Simpang Dodi menuju Komplek BTN Ajun pintunya menutup rapat. Ah, penyesalan kembali menelusup di hati muslimah cantik ini. Tentu tak aman berkendara terbuka malam-malam begini.
Di teras, Umi menyambut dengan air muka lega, kesal, lemas karena khawatir dan marah bercampur jadi satu. Namun melihat putri bungsunya tertunduk diam di jok belakang motor, Umi Hayati paham. Icut sudah dimarahi Abahnya.
Dengan naluri keibuannya, Umi Hayati langsung menyongsong putri bungsunya.
“Icut, sibuk kali di kampus, ya. Alhamdulillah sudah sampai rumah.” ujar Umi seraya membimbing Cut Isna masuk ke dalam rumah.
“Ayo masuk, Nak.”
“Abah, ayo masuk.”
Di kediaman Abah Rafji, sisa malam berakhir dalam damai. Semuanya merasa lega karena si Bungsu pulang dengan selamat.
Tanpa mengira apa yang akan terjadi esok, lusa dan seterusnya.
Sebagai seorang pengusaha kopi yang terkenal cukup berhasil dan penderma, Abah Rafji sering didatangi oleh “orang-orang gunung” sebutan kelompok separatis, untuk dimintai uang atau logistik dalam jumlah tertentu.
Abah Rafji tidak pernah menolak saat dipaksa harus membayar. Dalam pemikiran sederhananya, keselamatan keluarga dan keberlangsungan usahanya jauh lebih penting.
Para kelompok separatis kerap menyantroni di tengah malam. Sehingga wajar saja putra putrinya hampir tidak pernah mengetahui aksi tersebut.
Hanya Umi yang mengetahui dan kadangkala menemani Abah saat menerima “kunjungan tengah malam”. Umi bukannya setuju dengan tindakan tersebut, tetapi bayangan keselamatan dan keberlangsungan hidup keluarga menepis segala perasaan terzaliminya.

Minggu, 24 Mei 1998
Hari Minggu adalah waktu bersantai untuk keluarga Abah Rafji. Abah, Umi, dan ketiga putra-putrinya, Teuku Arham, Kemala Hayati, Cut Isna berkumpul di rumah. Hari minggu pun dinobatkan sebagai quality time bersama bagi keluarga Abah Rafji. Mulai dari keseharian kuliah, kegiatan di rumah hingga perkembangan bisnis Abah menjadi bahan obrolan.
“Ham, gimana kuliah, Nak ?”, Umi membuka percakapan pagi itu.
“Alhamdulillah lancar, Umi. Skripsi sudah hampir selesai.” Arham menjawab sembari menyeruput teh hangatnya.
“Tanggal berapa Mala wisuda ?” giliran Abah yang bertanya.
“Insya Allah bulan depan, Bah. Semua datang ya, Mala sudah siapkan empat kursi pendamping buat Abah, Umi, Bang Arham dan Icut.”
“Alhamdulillah, Umi bangga dengan kalian semua.”

“Mala, ke ingatkah Dokter Siddiq ?”
“Dokter Siddiq, kawan Abah kuliah di Unsyiah dulu ? Yang sering datang kesini, Bah ? Mala ingat, Bah. Ada apa, Bah ?”
Segaris senyum timbul di sudut bibir Abah.
“Kemarin, Dokter Siddiq datang kemari. Bertamu. Kami berbincang banyak hal.”
“.......”
“Abah ditanya, sudah ingin punya menantu belum. Abah jawab saja, tentu Abah ingin lah, tapi terserah anak-anak saja kapan mau menikah.”
Seisi ruangan langsung memandang Si Sulung, Kemala.
Abah bercerita dengan tenang, namun ada debur ombak menari di hati Kemala Hayati. Ia paham kemana arah pembicaraan Abah. Dokter Siddiq punya anak lelaki sulung yang umurnya hanya terpaut tiga tahun di atasnya. Mala tidak sadar pipinya merona.
“Kenapa lah Kak Mala ini, merah wajahnya, Bah.” si bungsu menggoda.
“Apa lah, ke ini. Wajah lon memang selalu merah.” Mala mengelak.
Buncah tawa sontak memenuhi ruang tamu rumah Abah Rafji.

“Jangan diambil beban, Mala. Dokter Siddiq hanya bertanya. Kapan ke mau menikah, dengan siapa, ya terserah ke saja.” Abah menengahi.
“Abah dan Umi tinggal memberi persetujuan. Iya kan, Bah ?” tambah Umi.
Abah menggangguk.
Topik perjodohan Kemala berhenti disitu. Abah dan Umi yakin, putri mereka sudah cukup dewasa untuk menentukan kapan dan dengan siapa ia akan menikah.

Suasana rumah Abah Rafji tampak sepi. Seolah tidak terjadi apa-apa. Di saat Aceh tengah bergemuruh karena konflik antara TNI dengan GAM, kediaman Abah Rafji tidak begitu terusik karena berjarak cukup jauh dari pusat kota Banda Aceh.

Malam itu Icut belum bersiap tidur. Selepas solat Isya, ia melipat mukena dan mengambil Al-Qur’an. Niatnya ingin tilawah satu dua lembar saja. Ia membuka Surah Asy-Syuara.  Ia begitu terhanyut saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jarum jam menunjukkan pukul 23.56 WIB. Icut menyudahi tilawahnya dan bersiap tidur hingga ia mendengar bunyi ketokan di pintu depan rumahnya.
Ia melirik jam dinding di kamarnya. Keningnya berkernyit.
Perasaan janggal seketika menyelimuti Icut. Siapa yang cukup gila datang ke rumah orang tengah malam seperti ini ? Icut tak habis pikir.
Diburu rasa kesal bercampur penasaran, Icut meraih jilbab dan bergegas keluar.
Baru tangannya menyentuh kenop pintu, suara langkah berderap terdengar dari luar kamar dan diikuti dengan decit pintu terbuka. Ia mengurungkan niatnya dan mengintip dari celah pintu.
Samar-samar, Icut melihat Abah, Umi dan dua orang asing yang menenteng senjata laras panjang memasuki ruang tamu. Icut terkesiap. Ia bukan orang yang paham tentang senjata, tetapi dengan sekilas lihat saja, Icut sadar bahwa itu senjata api.
“Astaghfirullah, ini pasti “orang gunung”. Mau apa mereka kemari malam-malam ?” ujar Icut gelisah. Tak beranjak dari posisinya, Icut menguping pembicaaran orang tuanya dengan utusan “orang-orang gunung” tersebut. Kalimat-kalimat bersahabat keluar dari lisan para utusan tersebut. Abah dan Umi sendiri terlihat berusaha menanggapi sewajarnya dan tersenyum paksa. Orang-orang tersebut menanyai kabar Abah dan Umi. Mereka juga sempat menyinggung soal pabrik kopi Abah di Peunayong.
Yang membuat Icut semakin gusar, mereka bahkan menanyai kabar Kemala, Arham dan dirinya. Sekitar berselang setengah jam kemudian Umi masuk ke kamar dan keluar kembali dengan menggenggam amplop cokelat tebal, yang ditebak Icut berisi uang tunai.
“Kopi lagi agak payah, Bang. Banyak yang gagal panen dan gagal produksi.”
“Segini aja dulu, gak masalah kan, Bang ?” Umi menambahkan seraya menyerahkan amplop cokelat ke Abah.
Abah lalu mengulurkan amplop tersebut. Kedua pria berambut gondrong tersebut saling bertatapan, menimbang-nimbang.
“Ya sudah, hana masalah lah. Daripada tidak ada samasekali. Tapi yang bulan depan dihitung dobel ya, Bang Rafji.”

Dari kejauhan, Icut bisa merasakan suasana hati Abah. Ada rasa marah, geram, sedikit gentar, dan lebih banyak khawatir. Setelah ‘transaksi’ selesai, kedua pria asing tersebut pamit. Abah dan Umi mengantar hingga pintu depan, dan tak menunggu sampai kelebat bayangan mereka hilang, Abah langsung menyambar pintu dan menguncinya.
Icut memutuskan untuk mengklarifikasi masalah ini esok hari. Ia masih terlalu shock sekaligus tidak tega mengambil jatah istirahat Abah dan Umi dengan meminta penjelasan dari mereka.
Keesokan harinya, selepas shalat Subuh, seperti biasa Mala dan Icut membantu Umi di dapur. Mala mencuci pakaian dengan mesin cuci sedangkan Icut menyiapkan sarapan. Icut masih menimbang-nimbang. Kira-kira kapan waktu yang tepat untuknya bertanya kepada Umi atau Abah. Icut juga bingung, apakah baik bertanya didepan kakak dan abangnya. Ia tak ingin memperunyam masalah.

Dituntun nalurinya sebagai Ibu, Umi Hayati menangkap kerisauan anaknya.
“Icut, ada yang mau ke sampaikan ? Atau ada yang mau ditanyakan ?” ujar Umi lembut.
Icut masih sibuk dengan lamunannya.
“Icut. .” Umi memanggil seraya mengelus punggungnya.
“Eh iya, Mi. Kenapa ?” Icut menjawab gelagapan.
Ke kenapa lah ? Ditanya Umi dari tadi, diam terus.” Mala menatap dgn pandangan menyelidik.
“Gak ada, Umi. Icut tidak apa-apa. Cuma lagi pusing mikirin kuliah.”
Umi menatap sekali lagi ke Icut lalu ke Mala, dan tersenyum menyejukkan.
“Kalo ada yang mau diceritakan, bilang aja ke Umi ya, Nak.”
“Iya, Umi.” Mala dan Icut mengangguk bersamaan.
“Ya sudah, Icut bawa godok2  dan timpan  ke ruang makan. Mala bantu bawa yang lain ya. Ada yang mau Umi tengok sebentar.”



Pukul 11.00 WIB, Auditorium Unsyiah.
Icut masih termangu mengingat obrolan saat sarapan tadi pagi. Arham dan Mala berangkat duluan karena kelasnya dimulai pagi. Tinggalah Abah, Umi dan Icut.
Icut tak kuasa menahan, hingga akhirnya pertanyaan dengan sedikit gugatan ia lontarkan.
Abah dan Umi bereaksi datar.
“Tadi malam Icut belum tidur, jadi Icut dengar pembicaraan Abah.”
“Begini Icut, Abah dan Umi memang tidak setuju dengan pemerasan dalam bentuk apapun. Tetapi, kami mempertimbangkan hal lain. Icut dan Mala muslimah cantik. Semua orang juga tau. Kalo kami menolak membayar, mereka akan mulai bertanya tentang kalian. Abah dan Umi lebih memilih membayar berapapun.” Abah menjelaskan dengan  tegas.
“Tapi, Bah, mereka datang setiap bulan kan ? Mau berapa banyak lagi uang yang Abah keluarkan tiap bulan ? Bah, kalo menurut Icut, sama aja Abah mendukung gerakan mereka.” Icut terlihat sangat terpukul.
“Icut, jangan ajari Abah soal nasionalisme. Ke harus percaya Abah paham sekali soal itu. Tapi untuk apapun Abah tidak bisa terima, kalo sudah berhubungan dengan kalian, anak-anak Abah.” Abah Rafji berkata dengan tajam.
“Kenapa kita tidak keluar dari Aceh saja ? Semua persoalan akan selesai. Abah dan Umi tidak harus pusing memikirkan orang-orang gunung tidak sopan itu lagi. Pabrik kopi Abah bisa kita bangun lagi. Icut tidak keberatan memulai lagi, Bah. Icut juga yakin Kak Mala dan Bang Arham akan mengerti.” Icut mulai terisak.
Cukup lama Abah dan Umi saling berpandangan. Menatap putri bungsunya yang tengah terisak pelan.
“Icut, bukan hal itu tidak pernah kami bicarakan. Tapi Abah dan Umi pikir, kalo semua rakyat Aceh memutuskan keluar dari daerah, lalu siapa yang akan tetap tinggal ?
Justru orang-orang gunung itu akan semakin leluasa dan akhirnya Aceh akan memerdekakan diri, lalu terpisah dari Indonesia.” Umi mencoba memberi pemahaman.
Icut terperangah mendengar penjelasan Umi. Ia tak menyangka orangtuanya berpikir sejauh itu. Abah benar, ia tak seharusnya menggurui orangtuanya soal nasionalisme. Mereka bahkan jauh lebih paham.
Inilah cara nasionalisme yang ditempuh orangtuanya. Melonggarkan sekaligus membatasi gerak golongan separatis.

“Hey, Cut.” Sebuah tepukan halus di pundak menyadarkannya dari lamunan.
Teuku rupanya. Icut mendengus dan dengan tergesa memungut barang-barangnya.
Ia lalu bergegas menuju Masjid Jamik.
“Hey, Cut. Jangan marah dulu. Aku mau minta maaf. Soal kemarin lupakan saja. Aku yang memang sedang kacau.” Teuku terbata menjelaskan.
Icut tetap bergeming dan melangkah dengan cepat.
“Icut, maafkan lah. Kita kan sudah berteman sejak SMP.” Teuku setengah memohon.
Tak tahan lagi, Icut membalik badannya dan menatap Teuku dengan nanar.
Ke tidak paham kah ? Aku bukan saja marah karena omongan ke yang melantur kesana kemari, tetapi juga karena ke menahan aku di ruang sekretariat BEM itu terlalu lama. Abah dan Umi khawatir sekali.”  ujar Icut memberondong.
“Astaghfirullah, iya, itu juga Cutt. Maafkanlah. Aku telpon dan sms dari kemarin tidak diangkat, tidak dibalas.”
Berat juga Icut menahan beban masalah sendirian ditambah dengan kondisinya yang sedang tidak akur dengan sahabatnya, Teuku. Dengan mencoba berbesar hati dan memaksakan senyum, Icut mengangguk kaku.
Sudahlah, toh ini akan mengurangi bebanku sedikit, pikir Icut.
Teuku langsung tersenyum dan bernapas lega.
“Terima kasih, Cut.”
Perjalanan dari auditorium menuju Masjid Jamik terasa lebih ringan bagi Teuku. Ia berjanji dalam hati tidak akan bertingkah konyol lagi dengan menyatakan cinta kepada sahabat yang diam-diam ia taksir sejak SMP.

Terdiam sejenak.
Itu reaksi Teuku saat Icut menceritakan kejadian semalam hingga pagi tadi di rumahnya.
“Cut, terkadang pilihan yang tersedia memang sama-sama berat. Aku juga setuju dengan Abah. Kalo sudah menyangkut keluarga, pilihan hanya satu. Selamatkan keluarga.”
“Tapi kalo begini caranya, negara ini mau jadi apa, Teuku ? Kita juga susah untuk berdakwah. Semua akses dibatasi. Ini yang namanya melindungi penduduk Aceh ? Dengan mengisolir mereka ?” Icut tak kuasa menahan emosi.
“Sabar, Cut. Ke pasti paham, Allah tidak akan memberi beban pada suatu umat, jika umat itu tidak sanggup. Berarti menurut Allah, Yang Maha Tahu, kita kuat dan sanggup untuk ujian ini. Tinggal kita yang cari cara bagaimana agar tetap bisa gerak untuk berdakwah.”
Icut hanya terdiam sembari menatap halaman Masjid Jamik.
Pikirannya berkecamuk antara keinginannya agar Abah dan Umi terbebas dari tekanan, dengan hasratnya mengabdi untuk tanah kelahiran.
Sebuah ide terlintas di benaknya.
Icut sendiri masih menyangsikan ide mentahnya. Belum lagi tantangan dan kendala yang akan timbul. Tetapi ide tersebut akhirnya meluncur juga dari lisannya.
Teuku sempat geleng-geleng kepala.
“Beri aku waktu.” ucap Teuku.
“Putuskan dengan bijak, Teuku. Aku memohon.” ujar Icut.

Banda Aceh, 21 April 2006
Banyak perubahan terlihat di Komplek BTN Ajun. Rumah-rumah yang rusak pasca tsunami 26 Desember 2004 sudah mulai direnovasi. Tak terkecuali kediaman Abah Rafji.
Bagaimana kabar keluargaku ? rasa rindu membuncah di dada Icut.
Tsunami yang melanda dan meluluhlantakkan hampir 85% daratan Aceh membekaskan banyak guratan di kenangan Icut. Kehilangan Abah dan Kemala bukan hal ringan.
Kaki Icut terhenti di depan rumah bertuliskan no. 246 lorong Kenanga. Rumahnya. Rumah kenangan bersama Abah, Umi, Arham dan Kemala. Air mata mulai membasahi pelupuk matanya.
“Assalamu’alaikum, Umi. Icut pulang.”
Seorang wanita paruh baya bergamis panjang menyongsong Icut dan memeluknya erat. Air mata bersimbah deras di kedua pipi wanita itu.
“Wa’alaikumussalam. Icut, akhirnya ke pulang, Nak. Umi kangen sekali.” Umi berujar sambil tersedu.
“Iya, Umi. Maafkan Icut.”
Icut menyeka air matanya dan memperkenalkan bocah perempuan berumur empat tahun yang berdiri di belakangnya.
“Ini Syifa, Umi. Cucu Umi.”
“Masya Allah, Syifa. Kemari, Sayang. Umi mau peluk.” Umi meraih bocah yang masih terlihat bingung itu dan menciumi serta memeluknya erat.
“Umi apa kabar ? Sehat, kan ?”.
Kali ini suara bariton menyapa telinga Umi.
“Alhamdulillah, kabar baik Teuku.”
Sore itu, kediaman Alm. Abah Rafji kembali ramai dengan kehadiran Icut, Teuku dan Syifa, buah hati mereka. Selain anak-anak yatim yang ditampung di bangunan bertingkat sebelah rumah, penghuni rumah lama hanya Umi dan beberapa pembantu rumah tangga. Arham yang juga sudah menikah dan memiliki seorang putra, kini menetap di daerah Peunayong dan setiap akhir minggu mengunjungi Umi bersama keluarga kecilnya.
Sepeninggal Abah dan Kemala, Icut memutuskan untuk memperluas komunitas sosial yang ia rintis bersama Teuku sejak kuliah. Komunitas sosial yang dibangun Icut bernama “Aneuk Nanggroe Rayeuk” yang berarti Anak-Anak Nanggroe yang Berjaya. Penabalan nama ini bukan main-main. Icut amat berharap, pemuda-pemudi Aceh tumbuh berpemikiran dan berjiwa besar. Serta menjiwai Islam sepenuh hati.
Dan terbukti usaha mereka tidak sia-sia. Awalnya, komunitas ini memang dijalankan sembunyi-sembunyi. Teuku dan Icut bahu membahu mengumpulkan anak-anak muda Aceh. Memberi buku bacaan yang bermuatan pengetahuan sosial, agama dan sejarah. Mereka juga rutin mengadakan pertemuan untuk saling berbagi pengalaman. Keinginan Icut satu. Ia ingin menjembatani antara pemerintah NKRI dengan GAM. Ia ingin perdamaian.
Dan hal itu harus dimulai dengan pemahaman para pemudanya. Di sesi sharing tiap minggunya, selain jumlah peserta yang terus bertambah, selalu ditemui lebih dari satu anak yang keluarganya menjadi korban konflik. Entah GAM ataupun TNI. Dari sinilah Icut, Teuku dan rekan-rekannya yang tergabung menjembatani kedua kubu tersebut. Ia menanamkan nilai-nilai persahabatan dan kebesaran memaafkan. Icut menjelaskan betapa Allah Maha Pengampun. Melalui literatur yang ia dapatkan, sebisa mungkin ia juga menceritakan sejarah Aceh dan Indonesia.
Langkah besar ini bukannya tidak terjegal rintangan. Icut dan Teuku sempat dicari-cari oleh Pemerintah dan GAM. Mereka juga sempat kesulitan memperoleh buku-buku bacaan karena donatur dihalangi oleh pihak yang tidak setuju dengan gerakan yang mereka usung. Dana yang terbatas juga menjadi masalah. Hingga puncaknya saat tsunami Aceh di tahun 2004. Semua bentuk materiil yang ia dan Teuku bangun selama lima tahun nyaris tak bersisa. Anggota komunitas juga banyak yang menjadi korban tsunami. Ditambah dengan Abah dan Kemala yang menjadi korban tsunami. Bagi Icut, dunia runtuh separuh.
Tetapi pemahaman dan kebaikan hati yang mereka perjuangkan tidak sia-sia. Pasca tsunami, giliran anggota yang masih hidup bahu membahu membangun kembali “Aneuk Nanggroe Rayeuk”.
Kini, komunitas “Aneuk Nanggroe Rayeuk” berdiri cukup besar dan berisikan pemuda-pemudi Aceh yang saling merasa terhubung. Entah karena sesama korban konflik, korban tsunami ataupun karena tingkat kepedulian terhadap sosial yang tinggi.
Hingga kini pula, Icut dan Teuku tercatat sebagai founder “Aneuk Nanggroe Rayeuk”.
Berkat mottonya yang indah dan penuh perdamaian, “Setiap kebaikan akan berbalas kebaikan dan pemaaf adalah jiwa terhebat” Icut dan Teuku berhasil menyatukan pemuda Aceh yang sempat terpisah akibat konflik. Dan bukan hal mustahil bahwa tsunami adalah salah satu jalan pemersatu.
Maha Besar Allah Yang Maha Mengetahui.



Bintaro, 22 April 2015
Mutiara Ni Mahdania (mahdarania)









Glosarium (dalam bahasa Aceh)
Hana                            : Tidak, bukan.
Lon                              : Saya, aku.
Ke                               : Kamu, kau, engkau.
Godok-godok             : penganan khas Aceh berupa pisang yang dilumatkan, dicampur    tepung, lalu digoreng seperti bakwan.
Timpan                        : penganan khas Aceh yang terbuat dari tepung dengan isi berupa inti (bisa nangka atau kelapa).
Bungong Jeumpa        : Bunga Jeumpa
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar