Minggu, 20 Desember 2015

Muharramku, Hijrah Kita



Dinda masih mengernyitkan kening.
Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang Ami, yang dilabeli sebagai cewek paket komplit seantero sekolah kini berubah menjadi seorang gadis pendiam, lebih suka menyendiri dan berbaju aneh ?
Dinda merasa bingung sekali. Kemana perginya Ami yang gaul ? Disimpan dimana semua baju-baju modis yang dulu kerap dipakai setiap acara di sekolah ? Kemana Ami yang asyik dan bersuara merdu ? Kenapa Ami kelihatan sangat nyaman dengan baju kedodoran dan jilbab lebarnya ? Lalu, apa pula itu kaus kaki dan manset yang kini menghiasi tangan dan kaki Ami ? Bahkan dulu Ami yang dikenalnya merasa tak perlu repot berkaus kaki atau berlengan panjang.
Dinda merasa sangat kehilangan. Setiap ada yang bertanya keheranan, menyindir bahkan mencemooh, Ami hanya tersenyum dan berkata, “Aku sedang mensyukuri semua nikmat Allah yang sudah aku terima”. Hei, kemana sapaan akrab ‘gue-elo’ Ami ? Sejak kapan pula dia berhenti menyisipkan bahasa Inggris di sela-sela obrolan ?
Dinda semakin tidak mengerti. Ia memang bukan sahabat Ami. Dinda hanya sekelas dengan Ami saat duduk di bangku kelas dua SMA Pelita Harapan. Namun bagi Dinda, Ami adalah role mode terhebat yang pernah ia temui. Semenjak bertemu dan mengenal Ami, Dinda terpacu untuk belajar dan berusaha lebih keras tentang apapun. Nilai 60-70 di rapornya kini terlapis sempurna dengan serendahnya angka 85. Setiap malas menerpanya, ia selalu melihat Ami. Hei, Ami sudah sangat cerdas, sudah pernah menjadi perwakilan pertukaran pelajar ke  Boston dalam program American Field Service (AFS). Namun Ami tidak pernah terlihat malas belajar atau bertanya, yang anehnya justru menjauhkan Ami dari kesan pamer dan caper. Seorang Dinda yang cuek juga bisa melihat kesungguhan dan ketulusan Ami dalam bertindak.
Soal olahraga pun, Dinda yang pemalas kini menguasai voli dan basket. Semua karena Ami. Ami yang seorang sprinter dan perenang. Ups, Ami juga pintar bernyanyi dan menggebuk drum. Dinda merasa, jika ada parameter 1-10, maka ia memberi 9,8 untuk seorang Ami.

Semua kebisaan dan perilaku ramahnya menjadikan Ami seorang yang sangat menarik. Wajah ayu khas gadis jawanya terlihat lebih memikat. Untuk beberapa saat, warga SMA Pelita Harapan percaya, malaikat itu ada. 

Sudah lewat dua minggu, Dinda membatin. Ia benar-benar sudah tidak tahan lagi. Tepat setelah bel istirahat pertama berdentang, Dinda langsung melesat ke kelas 3A-A, kelas Ami. Kebiasaan baru Ami setiap jam istirahat adalah bertandang ke mushola. Dinda sudah tau hal itu, sehingga ia menunggu Ami di depan kelas dan mencegatnya.
“Um, Ami. Apa kabar ?” Dinda bahkan tidak mengenali suara yang keluar dari kerongkongannya. Canggung bercampur tak acuh.
“Hai. Alhamdulillah sehat. Dinda ya ? Dindaa, apa kabar ?” Ami menjawab antusias.
“Sehat, Mi. Ya masih gini. Lu tau sendiri, lah.”
“Duh, tambah cantik aja ya, Din. Gimana pelajaran ? Masih jago banget Fisika dong ya,” Ami terlihat sangat ramah.
“Haha, gue mah bisanya emang itu doang kali, Mi. Beda lah sama elu yang dilemparin apa aja pasti langsung jago.”
“Bisa aja sih Dinda. Eh iya, ngomong-ngomong, kamu mau kemana ? Tumben banget mampir.”
“Um, gue mau ngobrol aja sih. Ada yang mau gue tanyain ke elu.”
Ami tersenyum. “Sekalian aku jalan ke mushola, gapapa ya ?”
Bahkan buat jalan aja dia masih minta izin ke gue, Dinda mencelos.
“Nyantai aja, Mi.”


Perumahan Puri Merak Indah.
Dinda masih tercenung. Ia sibuk mencerna dan menebak-nebak kepingan cerita yang belum rampung disampaikan Ami kepadanya. Tadi pagi, selepas Ami shalat Dhuha di mushola, Dinda tak kuasa menahan pertanyaan-pertanyaan yang menjejal di benaknya selama dua minggu terakhir.
“Mi, udah kelar shalat ‘kan ya ?” Dinda bertanya hati-hati saat melihat Ami tengah melipat mukena.
“Udah kok. Mau ngobrolin apa sih, Din ? Kok aku penasaran banget ya ?” Bola mata Ami membesar ingin tahu.
“Ga penting-penting banget juga sih sebenernya, Mi. Gue aja yang ‘terlanjur’ kepo.”
“Bukannya kamu jarang kepo ya, Din.” Ami terkikik.
Dinda hanya tersenyum masam, merasa tertangkap basah.
For serious and no hard feeling at all ya, lu kok berubah banget sih, Mi ?
Ami terdiam sejenak.
“Berubah gimana maksudnya ?”
“Em, gimana ya ? Banyak lah. Dari cara berpakaian elu, cara ngomong elu, cara bergaul elu, sampe kebiasaan elu, Mi. Heran gue.”
Ami tersenyum. Belum sempat ia menjawab, Dinda sudah menyambar lagi.
“Lu mungkin bakal bilang kalo lu lagi berusaha bersyukur. Tapi gue nggak ngerti aja, kenapa cara bersyukur elu kayak gini.”
“Wah, ada yang kepo beneran ya.” ujar Ami seraya mengulum senyum.
“Kalo aku boleh bilang ya Din, kamu mungkin orang ke sekian yang nanyain perubahan aku.”
“Sebelum aku jawab deh, mau nanya dulu. Emang menurut kamu, perubahan ini nggak pantas ya ?”
Dinda tergagap. Ia tidak menyangka bakal ditanya seperti itu.
“Bukan nggak pantas, sih. Tapi aneh aja menurut gue, Mi. Nggak lu banget lah.”

“Aku mau cerita, Din. Karena kayaknya kamu itu bener-bener pengen tau. Bukan buat nyari bahan obrolan di belakang aku. Yah, walaupun kalo emang diomongin, aku juga nggak masalah.”
Dinda manggut-manggut mempersilakan.
“Ayah dan Ibuku itu orang sibuk. Aku bahkan jarang ketemu mereka di rumah. Tapi aku nggak pernah ngerasa kurang kasih sayang. Walaupun jarang pulang, tiap hari mereka nanyain langsung dan telpon kabar aku gimana, ngapain aja di sekolah, udah makan belum. Bahkan mereka nanyain aku kuis atau nggak, kapan ujian, mau hadiah apa buat kenaikan kelas.”
“Tiap weekend, Ayah selalu di rumah. Ibu juga masak besar. Heboh, deh. Kalo aku tanya kenapa repot-repot padahal tiap hari juga udah capek ngantor, kamu tau Ibu bilang apa ?”
Dinda menggeleng.
“Ibu bilang gini, “ Selama tujuh hari seminggu, Ibu cuma bisa masakin kamu paling banyak dua kali, Mi. Ibu tau masakan si Mbok sehat, karena Ibu yang belanja dan Ibu kontrol terus, tapi Ibu nggak mau kamu lupa sama masakan Ibu. Ibu juga mau kamu sehat terus, Sayang”.”
“Ayah juga, Din. Aku jarang banget ngeliat Ayah megang gadget tiap weekend. Beliau pasti baca koran dan ngajak isi TTS bareng.”
“Aku jadi paham, kenapa jarang ngerasa kesepian meskipun aku anak tunggal. Karena orangtuaku berusaha nunjukkin kalo mereka selalu inget anaknya, sesibuk apapun.”
“Rasanya semua berjalan mulus dan ideal. Sampe akhirnya aku ngeliat Ibu nggak ngantor. Kebetulan aku lagi di rumah, pulang cepet abis pemilihan OSIS di sekolah. Hari itu Ibu bongkar-bongkar arsip lama. Karena penasaran, aku masuk kamar Ibu. Pengen bantuin ngerapiin.”

Sesaat Ami terdiam. Suaranya tercekat dan matanya berkaca-kaca.
“Kamu tau Din, Ibu lagi nangis. Ibu nangis sambil ngeliat akte kelahiran. Aku kirain punya siapa. Ternyata itu akte kelahiran anak laki-laki yang seharusnya jadi kakakku, Din.”
“Kakak laki-laki ? Bukannya lu bilang, lu anak tunggal ya, Mi ?”
Ami menggeleng pelan.
“Aku kira awalnya begitu.” ucap Ami lirih.
“Ternyata, kakakku, Mas Harris, sempat merasakan kasih sayang Ayah dan Ibu selama tujuh belas hari. Lebih dari itu, Allah sayang banget sama Mas Harris. Mas Harris meninggal di usia ke delapan belas hari, Din.”
“Dulu, Ayah dan Ibu masih susah. Belum sampe Jakarta malah. Kata dokter, Mas Harris meninggal karena kurang asupan gizi. Kamu bisa bayangin Din, anak pertama, laki-laki pula. Meninggal di usia yang sangat muda.”

Dinda tertegun. Ia tak menyangka, ada cerita pahit di hidup seorang Ami.

“Selain Ibu, Ayah yang paling terpukul. Beliau menyalahkan diri sendiri karena nggak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Ayah dendam ke dirinya sendiri. Satu bulan kemudian, Ayah mutusin kalo mereka harus pindah ke Jakarta. Mengadu nasib.”
“Ayah dan Ibu bekerja sangat keras. Siang malam. Mereka juga memutuskan untuk menunda punya anak sampai mereka merasa benar-benar siap.”
“Tahun ke lima di Jakarta, Ibu hamil. Sembilan bulan kemudian, aku lahir. Eyang Kakung yang memberikan nama. Maharrami Hijratillah.

Teeeeeeeeeetttttttttttt !!!!
Bel tanda istirahat usai berbunyi. Dinda dan Ami berjanji untuk bertemu lagi di tempat yang sama esok hari.
Esok siangnya, sambil mengunyah roti, Dinda berjalan santai menuju mushola. Ami tampak sedang khusyuk sholat Dhuha’. Iseng, Dinda melongok ke dalam dan tertegun melihat wajah Ami. Teduh dan damai.
“Udah lama, Din ?” ujar Ami mengejutkan.
“Eh, enggak kok. Gue baru nyampe. Khusyuk amat lu shalatnya.”
Ami hanya menanggapi dengan tersenyum.
“Lanjut cerita kemarin lagi dong, Mi.”
“Eh iyaa, udah sampai mana kemarin ?”
“Sampe lu lahir dan Eyang lu ngasih nama.”

Ami terlihat menerawang sesaat, lalu melanjutkan dengan tenang.
“Iya, jadi pas aku lahir, Eyang Kakung ngotot ngasih nama. Beliau bilang, karena cucu perempuan pertama. Dan namaku ternyata maknanya dalam, loh.”
Dinda terlihat antusias mengikuti.
“Oh ya, emang artinya apaan, Mi ?”
“Aku lahir bertepatan dengan tahun baru Islam. Makanya awalannya “Maharrami” asal kata “Muharram”. “Hijratillah” artinya “Hijrah karena Allah”. Lewat aku, Eyang pengen ngingetin Ayah dan Ibu. Bahwa tujuan hijrah, pindah, harus karena Allah. Bukan karena harta, apa lagi karena dendam ke diri sendiri.”
“Yang bikin aku kaget, Ibu justru inget arti namaku belum lama. Pas Ibu bongkar-bongkar arsip dan nemu akte kelahiran Mas Harris.”
“Tambah nyesek rasanya pas Ibu nangis minta maaf, karena selama 16 tahun, nggak pernah ngedidik aku secara agama.”
Kali ini air mata Ami benar-benar tumpah. Tetes demi tetes mengalir memperlihatkan bekas berkilau di pipi Ami.

“Ami. . . .” Dinda kehabisan kata-kata. Ia merangkul dan mengusap punggung teman yang dulu diidolakannya.
“Ibu meluk aku kenceng banget. Beliau sesenggukan minta maaf karena belum jadi contoh baik buat aku. Bahkan beliau minta maaf karena nggak pernah menasihati gimana cara berpakaian yang sopan.”
“Demi Allah, aku nggak tahan sekaligus nggak paham ngeliat Ibu nangis. Selama ini, aku ngerasa Ibu udah hebat banget. Beliau modis, keren, cerdas dan penyayang. Ibu juga open-minded banget, sampe-sampe aku mau beli baju, aksesoris, sepatu, tas, kayak apa aja, Ibu nggak ngelarang. Karena Ibu tau aku udah gede.”
Like mom, like daughter ya Mi.” Dinda menenangkan.
“Iya, Din.” Ami terkekeh pelan.
“Pas aku naik ke kamar dan ngelewatin cermin, aku terdiam sebentar. Aku perhatiin pakaianku dari atas ke bawah. Aku masih merasa nggak ada yang salah sama penampilanku.”
“Sampe akhirnya aku iseng nonton kajian muslimah di TV. Pas banget lagi membahas batasan aurat perempuan dan adab berpakaian. Kaget banget rasanya. Ternyata selama ini aku ngumbar aurat kemana-mana. Astaghfirullah.”
“Tapi aku nggak langsung ngerubah penampilan. Aku cari buku-buku tentang Islam. Alhamdulillahnya, Ayah dan Ibu udah tergerak duluan. Kita belanja buku-buku bareng. Kita juga jadi lebih sering diskusi soal Islam, nonton kajian-kajian. Alhamdulillah sejak tiga minggu lalu, Ibu mulai aktif pengajian.”
Ami tidak bisa menyembunyikan rona bahagianya.
“Setelah mantap, akhirnya aku dan Ibu bertekad untuk pelan-pelan berusaha mengikuti  yang diperintahkan Allah dan menjauhi yang dilarangNya. Yaah, dari yang paling dasar, Din. Pake jilbab.”
“Lu langsung pake baju yang longgar-longgar begini emang nggak panas, Mi ? Maksud gue, kalo mau, apa tadi bahasanya, hijrah ya, pelan-pelan dulu. Menurut gue, sih.”
Ami kembali tersenyum.
“Sehari sebelum aku mutusin buat berjilbab, pulang sekolah, aku ngeliatin baju apa yang aku pake hari ini. Aku malu banget, pas nyadar betapa pendeknya rok sekolah, tipis dan berlekuknya kemeja, leher kemana-mana. Sejak hari itu, aku bilang ke Ibu kalo aku mau berjilbab. Aku jelasin semua kemungkinan yang bakal terjadi. Termasuk tanggapan teman-teman di sekolah. Alhamdulilah Ibu dan Ayah mendukung banget. Ibu juga akhirnya mutusin untuk berjilbab.”
“Eh, aku cerita panjang banget kayak ceramah. Kamu bosen deh, Din. Maaf yaa.”
“Santai, Mi. Gue nikmatin, nih.”
“Eh iya Mi, iseng doang nih ya, kenapa lu nggak pake jilbabnya pas ulang tahun lu aja ? Pas bulan Muharram. Kan tinggal sebulan lagi, nih. Biar pas sweetseventeen elu.” Dinda berkata sembari mengecek kalender di ponsel pintarnya.
“Kenapa harus nunda, Din ? Umur siapa yang tau. Lagian, hidayah Allah itu nggak dateng dua kali, loh.”
Dinda hanya manggut-manggut sambil berpikir entah kemana.

Selepas percakapan hari itu, Ami dan Dinda hampir tidak pernah bertemu lagi. Keduanya sama-sama sibuk untuk persiapan Ujian Nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi.

Satu bulan kemudian di Perpustakaan.
“Assalamu’alaikum, Ami.”
“Wa’alaikumussalam. Iya ?” Ami memutar tubuhnya
Ami hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dinda yang berbaju panjang, longgar dengan manset dan kaus kaki serta jilbab lebar yang menutupi hingga punggung.
“Masya Allah Dindaa. Ini beneran Dinda ?” Ami terpekik hingga lupa sedang berada dimana.
“Sstt, malu didenger orang, Mi. Iya, ini aku, Dinda.”
“Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillahirabbil’alamin. Sini sini Din, cerita dong.”
Ami menarik tangan Dinda dengan semangat ke sebuah meja dan kursi terdekat.
“Cerita apa, Mi ?” Dinda tersenyum malu-malu.
“Apa aja, Din. Hijrahnya kamu.”

Hijrah. Kata yang dulu asing dan kini menelusup indah di hati Dinda.

Setelah pertemuan terakhir dengan Ami, Dinda menjadi seorang yang lebih pemikir. Ia mulai mencari-cari informasi seputar Islam, mengikuti kajian-kajian muslimah dan bertemu dengan banyak orang baik yang membantunya memperdalam Islam.
Ia juga rajin membaca buku dan berdiskusi. Sifat cueknya perlahan-lahan luntur. Tutur kata dan perangainya kian melembut.
Hingga akhirnya, tepat seminggu yang lalu, Dinda memutuskan untuk berhijrah.

“Ternyata butuh satu bulan untuk meneguhkan hatiku, Mi. Setelah banyak membaca, berdiskusi dan bergaul dengan orang-orang baik akhirnya aku mantap berjilbab, Mi.”
Rasa haru seketika menyelimuti Ami. Dinda yang cuek, tomboy, urakan namun pintar, pemalas dan anti-sosial, ceplas ceplos namun ia yakini baik hatinya, kini sudah menapaki langkah awal sebagai muslimah.
“Mama awalnya juga nggak setuju. Beliau bilang, nikmati masa muda aja dulu. Tapi pelan-pelan aku kasih penegertian. Alhamdulillah akhirnya, Mama mendukungku berjilbab, Mi.”
“Dindaaa.” Ami tak kuasa menahan haru dan memeluk teman yang kini menjadi sahabat seperjuangan sekaligus saudarinya.

Apa yang lebih indah dari dua sahabat yang kini menjadi saudara, yang sama-sama menapaki jalan Allah untuk menggapai ridho-Nya.

“Nggak panas, Din ?” Ami menggoda.
“Hm, panasan neraka deh kayaknya, Mi.”
“Bisa aja kamu, Din.”
“Nggak nunggu umur 17 tahun, Din ? Biar sweetseventeen gituu.” Ami kembali menggoda sembari memberi penekanan pada kata ‘sweetseventeen’.
“Ini sekalian menyambut tahun baru Muharram, Mi. Bersyukur kepada Allah karena sudah mempertemukan aku dengan sahabat yang luar biasa kayak kamu.”
“Sebentar lagi, Muharram kan, Mi ?”
“Tanggalnya pasti nggak sama persis lah secara Masehi, tapi kalo Hijriyah pasti cocok. Iya kan, Mi ?”

Ami tertegun memandang Dinda. Ia sadar sudah memiliki kado terindah untuk ulang tahunnya kali ini. Orang bilang angka 17 adalah angka yang sakral, kini Ami mengamini. Di usia yang ke 17 Allah kirimkan hidayah atas diri dan keluarganya, bahkan kepada orang yang tak ia sangka-sangka. Teman sekelas saat kelas 2, Dinda yang kini menjadi sahabatnya.
“Jazakillah ukhty. Makasih banyak Dindaa. Semoga persahabatan kita kelak hingga ke Jannah-Nya. Aamiin. Makasih Dinda.”
Terbalik Ami. Aku yang berterima kasih. Dulu hingga sekarang, kamu selalu menginspirasiku. Semua perubahanku perantaranya adalah kamu, sahabatku. Jazakillah ukhty, ana uhibbuki fillah. Terima kasih ya Allah. Dinda membatin syahdu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar