Dinda masih
mengernyitkan kening.
Ia tidak habis pikir,
bagaimana bisa seorang Ami, yang dilabeli sebagai cewek paket komplit seantero
sekolah kini berubah menjadi seorang gadis pendiam, lebih suka menyendiri dan
berbaju aneh ?
Dinda merasa bingung sekali. Kemana
perginya Ami yang gaul ? Disimpan dimana semua baju-baju modis yang dulu kerap
dipakai setiap acara di sekolah ? Kemana Ami yang asyik dan bersuara merdu ?
Kenapa Ami kelihatan sangat nyaman dengan baju kedodoran dan jilbab lebarnya ?
Lalu, apa pula itu kaus kaki dan manset yang kini menghiasi tangan dan kaki Ami
? Bahkan dulu Ami yang dikenalnya merasa tak perlu repot berkaus kaki atau
berlengan panjang.
Dinda merasa sangat
kehilangan. Setiap ada yang bertanya keheranan, menyindir bahkan mencemooh, Ami
hanya tersenyum dan berkata, “Aku sedang mensyukuri semua nikmat Allah yang
sudah aku terima”. Hei, kemana sapaan akrab ‘gue-elo’ Ami ? Sejak kapan pula dia
berhenti menyisipkan bahasa Inggris di sela-sela obrolan ?
Dinda semakin tidak
mengerti. Ia memang bukan sahabat Ami. Dinda hanya sekelas dengan Ami saat
duduk di bangku kelas dua SMA Pelita Harapan. Namun bagi Dinda, Ami adalah role mode terhebat yang pernah ia temui.
Semenjak bertemu dan mengenal Ami, Dinda terpacu untuk belajar dan berusaha
lebih keras tentang apapun. Nilai 60-70 di rapornya kini terlapis sempurna
dengan serendahnya angka 85. Setiap malas menerpanya, ia selalu melihat Ami.
Hei, Ami sudah sangat cerdas, sudah pernah menjadi perwakilan pertukaran pelajar
ke Boston dalam program American Field Service (AFS). Namun Ami
tidak pernah terlihat malas belajar atau bertanya, yang anehnya justru
menjauhkan Ami dari kesan pamer dan caper. Seorang Dinda yang cuek juga bisa
melihat kesungguhan dan ketulusan Ami dalam bertindak.
Soal olahraga pun,
Dinda yang pemalas kini menguasai voli dan basket. Semua karena Ami. Ami yang
seorang sprinter dan perenang. Ups, Ami juga pintar bernyanyi dan menggebuk
drum. Dinda merasa, jika ada parameter 1-10, maka ia memberi 9,8 untuk seorang
Ami.
Semua kebisaan dan
perilaku ramahnya menjadikan Ami seorang yang sangat menarik. Wajah ayu khas
gadis jawanya terlihat lebih memikat. Untuk beberapa saat, warga SMA Pelita
Harapan percaya, malaikat itu ada.
Sudah lewat dua minggu,
Dinda membatin. Ia benar-benar sudah tidak tahan lagi. Tepat setelah bel
istirahat pertama berdentang, Dinda langsung melesat ke kelas 3A-A, kelas Ami. Kebiasaan
baru Ami setiap jam istirahat adalah bertandang ke mushola. Dinda sudah tau hal
itu, sehingga ia menunggu Ami di depan kelas dan mencegatnya.
“Um, Ami. Apa kabar ?” Dinda bahkan
tidak mengenali suara yang keluar dari kerongkongannya. Canggung bercampur tak
acuh.
“Hai. Alhamdulillah sehat. Dinda ya ?
Dindaa, apa kabar ?” Ami menjawab antusias.
“Sehat, Mi. Ya masih gini. Lu tau
sendiri, lah.”
“Duh, tambah cantik aja ya, Din. Gimana
pelajaran ? Masih jago banget Fisika dong ya,” Ami terlihat sangat ramah.
“Haha, gue mah bisanya emang itu doang kali, Mi. Beda lah sama elu yang
dilemparin apa aja pasti langsung jago.”
“Bisa aja sih Dinda. Eh iya,
ngomong-ngomong, kamu mau kemana ? Tumben banget mampir.”
“Um, gue mau ngobrol aja sih. Ada yang
mau gue tanyain ke elu.”
Ami tersenyum. “Sekalian aku jalan ke
mushola, gapapa ya ?”
Bahkan buat jalan aja dia masih minta
izin ke gue, Dinda mencelos.
“Nyantai aja, Mi.”
Perumahan Puri Merak Indah.
Dinda masih tercenung.
Ia sibuk mencerna dan menebak-nebak kepingan cerita yang belum rampung
disampaikan Ami kepadanya. Tadi pagi, selepas Ami shalat Dhuha di mushola,
Dinda tak kuasa menahan pertanyaan-pertanyaan yang menjejal di benaknya selama
dua minggu terakhir.
“Mi, udah kelar shalat ‘kan ya ?” Dinda
bertanya hati-hati saat melihat Ami tengah melipat mukena.
“Udah kok. Mau ngobrolin apa sih, Din ?
Kok aku penasaran banget ya ?” Bola mata Ami membesar ingin tahu.
“Ga penting-penting banget juga sih
sebenernya, Mi. Gue aja yang ‘terlanjur’ kepo.”
“Bukannya kamu jarang kepo ya, Din.” Ami terkikik.
Dinda hanya tersenyum masam, merasa
tertangkap basah.
“For
serious and no hard feeling at all ya, lu kok berubah banget sih, Mi ?
Ami terdiam sejenak.
“Berubah gimana maksudnya ?”
“Em, gimana ya ? Banyak lah. Dari cara
berpakaian elu, cara ngomong elu, cara bergaul elu, sampe kebiasaan elu, Mi.
Heran gue.”
Ami tersenyum. Belum sempat ia menjawab,
Dinda sudah menyambar lagi.
“Lu mungkin bakal bilang kalo lu lagi
berusaha bersyukur. Tapi gue nggak ngerti aja, kenapa cara bersyukur elu kayak
gini.”
“Wah, ada yang kepo beneran ya.” ujar Ami seraya mengulum senyum.
“Kalo aku boleh bilang ya Din, kamu
mungkin orang ke sekian yang nanyain perubahan aku.”
“Sebelum aku jawab deh, mau nanya dulu.
Emang menurut kamu, perubahan ini nggak pantas ya ?”
Dinda tergagap. Ia tidak menyangka bakal
ditanya seperti itu.
“Bukan nggak pantas, sih. Tapi aneh aja
menurut gue, Mi. Nggak lu banget lah.”
“Aku mau cerita, Din. Karena kayaknya
kamu itu bener-bener pengen tau. Bukan buat nyari bahan obrolan di belakang
aku. Yah, walaupun kalo emang diomongin, aku juga nggak masalah.”
Dinda manggut-manggut mempersilakan.
“Ayah dan Ibuku itu orang sibuk. Aku
bahkan jarang ketemu mereka di rumah. Tapi aku nggak pernah ngerasa kurang
kasih sayang. Walaupun jarang pulang, tiap hari mereka nanyain langsung dan
telpon kabar aku gimana, ngapain aja di sekolah, udah makan belum. Bahkan
mereka nanyain aku kuis atau nggak, kapan ujian, mau hadiah apa buat kenaikan
kelas.”
“Tiap weekend, Ayah selalu di rumah. Ibu juga masak besar. Heboh, deh. Kalo
aku tanya kenapa repot-repot padahal tiap hari juga udah capek ngantor, kamu
tau Ibu bilang apa ?”
Dinda menggeleng.
“Ibu bilang gini, “ Selama tujuh hari
seminggu, Ibu cuma bisa masakin kamu paling banyak dua kali, Mi. Ibu tau
masakan si Mbok sehat, karena Ibu yang belanja dan Ibu kontrol terus, tapi Ibu
nggak mau kamu lupa sama masakan Ibu. Ibu juga mau kamu sehat terus, Sayang”.”
“Ayah juga, Din. Aku jarang banget
ngeliat Ayah megang gadget tiap weekend. Beliau pasti baca koran dan
ngajak isi TTS bareng.”
“Aku jadi paham, kenapa jarang ngerasa
kesepian meskipun aku anak tunggal. Karena orangtuaku berusaha nunjukkin kalo
mereka selalu inget anaknya, sesibuk apapun.”
“Rasanya semua berjalan mulus dan ideal.
Sampe akhirnya aku ngeliat Ibu nggak ngantor. Kebetulan aku lagi di rumah,
pulang cepet abis pemilihan OSIS di sekolah. Hari itu Ibu bongkar-bongkar arsip
lama. Karena penasaran, aku masuk kamar Ibu. Pengen bantuin ngerapiin.”
Sesaat Ami terdiam. Suaranya tercekat
dan matanya berkaca-kaca.
“Kamu tau Din, Ibu lagi nangis. Ibu
nangis sambil ngeliat akte kelahiran. Aku kirain punya siapa. Ternyata itu akte
kelahiran anak laki-laki yang seharusnya jadi kakakku, Din.”
“Kakak laki-laki ? Bukannya lu bilang,
lu anak tunggal ya, Mi ?”
Ami menggeleng pelan.
“Aku kira awalnya begitu.” ucap Ami
lirih.
“Ternyata, kakakku, Mas Harris, sempat
merasakan kasih sayang Ayah dan Ibu selama tujuh belas hari. Lebih dari itu,
Allah sayang banget sama Mas Harris. Mas Harris meninggal di usia ke delapan
belas hari, Din.”
“Dulu, Ayah dan Ibu masih susah. Belum
sampe Jakarta malah. Kata dokter, Mas Harris meninggal karena kurang asupan
gizi. Kamu bisa bayangin Din, anak pertama, laki-laki pula. Meninggal di usia
yang sangat muda.”
Dinda tertegun. Ia tak menyangka, ada
cerita pahit di hidup seorang Ami.
“Selain Ibu, Ayah yang paling terpukul.
Beliau menyalahkan diri sendiri karena nggak bisa memenuhi kebutuhan keluarga.
Ayah dendam ke dirinya sendiri. Satu bulan kemudian, Ayah mutusin kalo mereka
harus pindah ke Jakarta. Mengadu nasib.”
“Ayah dan Ibu bekerja sangat keras.
Siang malam. Mereka juga memutuskan untuk menunda punya anak sampai mereka
merasa benar-benar siap.”
“Tahun ke lima di Jakarta, Ibu hamil.
Sembilan bulan kemudian, aku lahir. Eyang Kakung yang memberikan nama. Maharrami
Hijratillah.
Teeeeeeeeeetttttttttttt !!!!
Bel tanda istirahat usai berbunyi. Dinda
dan Ami berjanji untuk bertemu lagi di tempat yang sama esok hari.
Esok siangnya, sambil
mengunyah roti, Dinda berjalan santai menuju mushola. Ami tampak sedang khusyuk
sholat Dhuha’. Iseng, Dinda melongok ke dalam dan tertegun melihat wajah Ami.
Teduh dan damai.
“Udah lama, Din ?” ujar Ami mengejutkan.
“Eh, enggak kok. Gue baru nyampe.
Khusyuk amat lu shalatnya.”
Ami hanya menanggapi dengan tersenyum.
“Lanjut cerita kemarin lagi dong, Mi.”
“Eh iyaa, udah sampai mana kemarin ?”
“Sampe lu lahir dan Eyang lu ngasih
nama.”
Ami terlihat menerawang sesaat, lalu
melanjutkan dengan tenang.
“Iya, jadi pas aku lahir, Eyang Kakung
ngotot ngasih nama. Beliau bilang, karena cucu perempuan pertama. Dan namaku
ternyata maknanya dalam, loh.”
Dinda terlihat antusias mengikuti.
“Oh ya, emang artinya apaan, Mi ?”
“Aku lahir bertepatan dengan tahun baru
Islam. Makanya awalannya “Maharrami” asal kata “Muharram”. “Hijratillah” artinya
“Hijrah karena Allah”. Lewat aku, Eyang pengen ngingetin Ayah dan Ibu. Bahwa
tujuan hijrah, pindah, harus karena Allah. Bukan karena harta, apa lagi karena
dendam ke diri sendiri.”
“Yang bikin aku kaget, Ibu justru inget
arti namaku belum lama. Pas Ibu bongkar-bongkar arsip dan nemu akte kelahiran
Mas Harris.”
“Tambah nyesek rasanya pas Ibu nangis
minta maaf, karena selama 16 tahun, nggak pernah ngedidik aku secara agama.”
Kali ini air mata Ami benar-benar
tumpah. Tetes demi tetes mengalir memperlihatkan bekas berkilau di pipi Ami.
“Ami. . . .” Dinda kehabisan kata-kata.
Ia merangkul dan mengusap punggung teman yang dulu diidolakannya.
“Ibu meluk aku kenceng banget. Beliau
sesenggukan minta maaf karena belum jadi contoh baik buat aku. Bahkan beliau
minta maaf karena nggak pernah menasihati gimana cara berpakaian yang sopan.”
“Demi Allah, aku nggak tahan sekaligus
nggak paham ngeliat Ibu nangis. Selama ini, aku ngerasa Ibu udah hebat banget.
Beliau modis, keren, cerdas dan penyayang. Ibu juga open-minded banget, sampe-sampe aku mau beli baju, aksesoris,
sepatu, tas, kayak apa aja, Ibu nggak ngelarang. Karena Ibu tau aku udah gede.”
“Like
mom, like daughter ya Mi.” Dinda menenangkan.
“Iya, Din.” Ami terkekeh pelan.
“Pas aku naik ke kamar dan ngelewatin
cermin, aku terdiam sebentar. Aku perhatiin pakaianku dari atas ke bawah. Aku
masih merasa nggak ada yang salah sama penampilanku.”
“Sampe akhirnya aku iseng nonton kajian
muslimah di TV. Pas banget lagi membahas batasan aurat perempuan dan adab
berpakaian. Kaget banget rasanya. Ternyata selama ini aku ngumbar aurat
kemana-mana. Astaghfirullah.”
“Tapi aku nggak langsung ngerubah
penampilan. Aku cari buku-buku tentang Islam. Alhamdulillahnya, Ayah dan Ibu
udah tergerak duluan. Kita belanja buku-buku bareng. Kita juga jadi lebih
sering diskusi soal Islam, nonton kajian-kajian. Alhamdulillah sejak tiga
minggu lalu, Ibu mulai aktif pengajian.”
Ami tidak bisa menyembunyikan rona
bahagianya.
“Setelah mantap, akhirnya aku dan Ibu
bertekad untuk pelan-pelan berusaha mengikuti
yang diperintahkan Allah dan menjauhi yang dilarangNya. Yaah, dari yang
paling dasar, Din. Pake jilbab.”
“Lu langsung pake baju yang
longgar-longgar begini emang nggak panas, Mi ? Maksud gue, kalo mau, apa tadi
bahasanya, hijrah ya, pelan-pelan dulu. Menurut gue, sih.”
Ami kembali tersenyum.
“Sehari sebelum aku mutusin buat
berjilbab, pulang sekolah, aku ngeliatin baju apa yang aku pake hari ini. Aku
malu banget, pas nyadar betapa pendeknya rok sekolah, tipis dan berlekuknya
kemeja, leher kemana-mana. Sejak hari itu, aku bilang ke Ibu kalo aku mau
berjilbab. Aku jelasin semua kemungkinan yang bakal terjadi. Termasuk tanggapan
teman-teman di sekolah. Alhamdulilah Ibu dan Ayah mendukung banget. Ibu juga
akhirnya mutusin untuk berjilbab.”
“Eh, aku cerita panjang banget kayak
ceramah. Kamu bosen deh, Din. Maaf yaa.”
“Santai, Mi. Gue nikmatin, nih.”
“Eh iya Mi, iseng doang nih ya, kenapa
lu nggak pake jilbabnya pas ulang tahun lu aja ? Pas bulan Muharram. Kan
tinggal sebulan lagi, nih. Biar pas sweetseventeen
elu.” Dinda berkata sembari mengecek kalender di ponsel pintarnya.
“Kenapa harus nunda, Din ? Umur siapa
yang tau. Lagian, hidayah Allah itu nggak dateng dua kali, loh.”
Dinda hanya manggut-manggut sambil
berpikir entah kemana.
Selepas percakapan hari itu, Ami dan
Dinda hampir tidak pernah bertemu lagi. Keduanya sama-sama sibuk untuk
persiapan Ujian Nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi.
Satu bulan kemudian di Perpustakaan.
“Assalamu’alaikum, Ami.”
“Wa’alaikumussalam. Iya ?” Ami memutar
tubuhnya
Ami hampir tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Dinda yang berbaju panjang, longgar dengan manset dan kaus kaki
serta jilbab lebar yang menutupi hingga punggung.
“Masya Allah Dindaa. Ini beneran Dinda
?” Ami terpekik hingga lupa sedang berada dimana.
“Sstt, malu didenger orang, Mi. Iya, ini
aku, Dinda.”
“Alhamdulillah, alhamdulillah,
alhamdulillahirabbil’alamin. Sini sini Din, cerita dong.”
Ami menarik tangan Dinda dengan semangat
ke sebuah meja dan kursi terdekat.
“Cerita apa, Mi ?” Dinda tersenyum
malu-malu.
“Apa aja, Din. Hijrahnya kamu.”
Hijrah. Kata yang dulu asing dan kini
menelusup indah di hati Dinda.
Setelah pertemuan terakhir dengan Ami,
Dinda menjadi seorang yang lebih pemikir. Ia mulai mencari-cari informasi
seputar Islam, mengikuti kajian-kajian muslimah dan bertemu dengan banyak orang
baik yang membantunya memperdalam Islam.
Ia juga rajin membaca buku dan
berdiskusi. Sifat cueknya perlahan-lahan luntur. Tutur kata dan perangainya
kian melembut.
Hingga akhirnya, tepat seminggu yang lalu,
Dinda memutuskan untuk berhijrah.
“Ternyata butuh satu bulan untuk
meneguhkan hatiku, Mi. Setelah banyak membaca, berdiskusi dan bergaul dengan
orang-orang baik akhirnya aku mantap berjilbab, Mi.”
Rasa haru seketika menyelimuti Ami.
Dinda yang cuek, tomboy, urakan namun pintar, pemalas dan anti-sosial, ceplas
ceplos namun ia yakini baik hatinya, kini sudah menapaki langkah awal sebagai
muslimah.
“Mama awalnya juga nggak setuju. Beliau
bilang, nikmati masa muda aja dulu. Tapi pelan-pelan aku kasih penegertian.
Alhamdulillah akhirnya, Mama mendukungku berjilbab, Mi.”
“Dindaaa.” Ami tak kuasa menahan haru
dan memeluk teman yang kini menjadi sahabat seperjuangan sekaligus saudarinya.
Apa yang lebih indah
dari dua sahabat yang kini menjadi saudara, yang sama-sama menapaki jalan Allah
untuk menggapai ridho-Nya.
“Nggak panas, Din ?” Ami menggoda.
“Hm, panasan neraka deh kayaknya, Mi.”
“Bisa aja kamu, Din.”
“Nggak nunggu umur 17 tahun, Din ? Biar sweetseventeen gituu.” Ami kembali
menggoda sembari memberi penekanan pada kata ‘sweetseventeen’.
“Ini sekalian menyambut tahun baru
Muharram, Mi. Bersyukur kepada Allah karena sudah mempertemukan aku dengan
sahabat yang luar biasa kayak kamu.”
“Sebentar lagi, Muharram kan, Mi ?”
“Tanggalnya pasti nggak sama persis lah
secara Masehi, tapi kalo Hijriyah pasti cocok. Iya kan, Mi ?”
Ami tertegun memandang
Dinda. Ia sadar sudah memiliki kado terindah untuk ulang tahunnya kali ini.
Orang bilang angka 17 adalah angka yang sakral, kini Ami mengamini. Di usia
yang ke 17 Allah kirimkan hidayah atas diri dan keluarganya, bahkan kepada
orang yang tak ia sangka-sangka. Teman sekelas saat kelas 2, Dinda yang kini
menjadi sahabatnya.
“Jazakillah ukhty. Makasih banyak
Dindaa. Semoga persahabatan kita kelak hingga ke Jannah-Nya. Aamiin. Makasih
Dinda.”
Terbalik Ami. Aku yang
berterima kasih. Dulu hingga sekarang, kamu selalu menginspirasiku. Semua
perubahanku perantaranya adalah kamu, sahabatku. Jazakillah ukhty, ana uhibbuki
fillah. Terima kasih ya Allah. Dinda membatin syahdu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar