Berbeda
dengan kebanyakan orang, saya cenderung menghindari kata “senja”. Ada gelombang
kuat kesyahduan yang menghampiri bersamaan.
Entahlah,
senja seperti penutupan hari. Momentum ketika matahari meminta diri untuk
berkelana ke belahan bumi yang lain. Bukan. Bukan saya ingin bertemankan
mentari sepanjang hari, 24/7. Tentu istilah malam akan terdengar tabu.
Saya
hanya tidak nyaman saat harus merasa sendirian.
Berkampus
di tanah rantau ini, aktivitas perkuliahan tergelar dari pagi hingga petang.
Baru belakangan ini banyak yang kuliah malam. Pun tidak termasuk kelas yang
saya hadiri.
Otomatis,
pukul lima sore adalah waktu untuk membersamai ruang 2,5 x 3,5 meter ini lebih
erat. Ah, saat segrambeng aktivitas selama empat semester silam menjerat kaki
dan tangan untuk tetap di luar, saya sering mengeluh kurang tidur, kurang punya
waktu me-time.
Sekarang,
saat waktu terhampar lebih panjang, mengapa saya kehilangan ? Terlalu banyak
waktu untuk diri sendiri membuat saya merasa lebih intim dengan kesyahduan
senja.
Mungkin
saya hanya rindu bangunan hangat bernama “rumah”. Mungkin saya hanya sedang
bingung mengonversi energi yang biasanya terpakai untuk beraktivitas di luar
kosan, karena membuka dan membuat text
line di diktat bukanlah pilihan saya untuk setiap malamnya.
Yang
saya sadari, saya sedang kehilangan kebiasaan. Kehilangan ini memaksa saya
berteman dengan hal baru. Senja yang syahdu.
Senja
yang syahdu saya kecap tatkala berkumpul dengan manusia-manusia kecintaan saya,
keluarga. Dimulai dengan shalat maghrib berjamaah, tilawah lalu makan malam.
Dan ini versi syahdu yang saya sukai.
Karena
insan kocak yang berwawasan luas bernama Ayah selalu punya bahan obrolan selama
makan malam. Lalu ada ciptaan Tuhan yang saya puja bernama Ibu, yang tak pernah
alpa menghadiahi perut-perut kelaparan kami dengan masakan lezat nan bergizi. Sebut
saja mereka Adik-Adik. Manusia-manusia dengan umur terpaut tiga, lima bahkan
sebelas tahun lebih muda ketimbang saya yang celotehannya saya rindukan selama
merantau. Tak hadir secara fisik tidak lantas membuat aliran darah terlupakan.
Laki-laki kedua yang saya rapal namanya di tiap sujud setelah Ayah, Kakak. Berlabuh
di Semarang sebagai mahasiswa Undip menjadikan kehadirannya sebagai barang
langka di rumah. Namun, setiap kepingan cerita tentang Kakak adalah topik
menarik bagi kami semua.
Syahdu.
Walau mulai terkikis dengan anggota keluarga yang pelan-pelan meninggalkan
rumah. Dua tahun yang lalu, Ibu mengalah untuk semangat belajar saya dan
melafalkan ribuan untai doa indah dibarengi beberapa titik airmata. Saat saya
resmi menjadi mahasiswi STAN.
Jauh
sebelum itu, sepuluh tahun silam, untuk pertama kalinya, Kakak dilepas sekolah
ke Jawa Barat. Banjir airmata dan berbuncah kekhawatiran mengiringi.
Tahun
depan, giliran si Tengah yang beranjak kuliah. Medan bukan tempat pilihan untuk
berkuliah, itu prinsip kami.
Kini
Ayah dan Ibu bukan hanya menaikkan laju pedal demi mempersiapkan keberangkatan
Adik, tetapi juga menata hati untuk kembali ‘mengalah’ atas nama semangat
belajar.
Tak
banyak yang tahu, hingga sebuah pesan terbalut pertanyaan terlontar ringan,
“Mbak Muti magang di Medan, kan ?”. Tahun 2016, si Tengah dan saya lulus berbarengan. Yang artinya, si Tengah
akan merantau, dan saya kembali, meskipun sementara.
Syahdu.
Walau kian kemari kian tergerus dengan banjiran aktivitas. Saat saya berlibur
dua bulan yang lalu, saya mengenal syahdu lain versi.
Jarang
sekali shalat maghrib berjamaah lagi, terlebih dilanjutkan tilawah. Makan malam
adalah prosesi makan sendiri-sendiri.
Bukan
hilang dengan disengaja. Kondisi memang berpotongan, namun sayangnya bukan di
rumah, tapi di tempat-tempat lain. Adik-Adik sekolah ibarat para pekerja. Dari
pagi hingga petang. Ayah dan Ibu berboncengan menjemput rezeki bahkan hingga
larut malam.
Ah,
saya merasa lebih sendiri saat kemarin. Ironi memang, adaptasi dengan syahdu
versi ini terasa sedikit ganjil.
Tapi,
saya tidak mengharapkan Ayah, Ibu dan Adik-Adik berhenti dari proses ini.
Karena semua proses ini adalah perjuangan.
Lihatlah,
malaikat mana yang menolak melindungi kaki-kaki yang menapak untuk menjemput
rezeki serupa ilmu dan harta yang mencukupkan ?
Pada
akhirnya, saya mengerti.
Senja
bukan pelarian atas ketidaksiapan manusia menjemput malam. Senja adalah gerbang
pembiasa pergantian dimensi waktu.
Tanpa
senja, mungkin mata ini akan mengerjap bingung saat mentari berpindah. Tanpa
senja, mungkin maghrib bukan waktu yang sakral untuk bersimpuh menghamba-Nya.
Tanpa senja, mungkin manusia tak kenal bisnis dan waralaba sesederhana takjil.
Tanpa senja, mungkin kita bukan apa-apa.
Karena
kesyahduan senja adalah awal dari apa-apa yang sudah diakhiri. Dan sesyahdunya
senja adalah yang menghentak untuk mempersiapkan kehidupan esok pagi lebih baik
lagi.
Syahdu
yang harus saya biasakan keberadaannya. Seperti kesyahduan mengikhlaskan
sedikit waktu belajar untuk UTS besok demi luapan asa di ujung jemari ini.
Bintaro, 30 November 2015
mahdarania
Tidak ada komentar:
Posting Komentar