Minggu, 20 Desember 2015

Senja Ber-abu



Berbeda dengan kebanyakan orang, saya cenderung menghindari kata “senja”. Ada gelombang kuat kesyahduan yang menghampiri bersamaan.

Entahlah, senja seperti penutupan hari. Momentum ketika matahari meminta diri untuk berkelana ke belahan bumi yang lain. Bukan. Bukan saya ingin bertemankan mentari sepanjang hari, 24/7. Tentu istilah malam akan terdengar tabu.
Saya hanya tidak nyaman saat harus merasa sendirian.

Berkampus di tanah rantau ini, aktivitas perkuliahan tergelar dari pagi hingga petang. Baru belakangan ini banyak yang kuliah malam. Pun tidak termasuk kelas yang saya hadiri.
Otomatis, pukul lima sore adalah waktu untuk membersamai ruang 2,5 x 3,5 meter ini lebih erat. Ah, saat segrambeng aktivitas selama empat semester silam menjerat kaki dan tangan untuk tetap di luar, saya sering mengeluh kurang tidur, kurang punya waktu me-time.
Sekarang, saat waktu terhampar lebih panjang, mengapa saya kehilangan ? Terlalu banyak waktu untuk diri sendiri membuat saya merasa lebih intim dengan kesyahduan senja.

Mungkin saya hanya rindu bangunan hangat bernama “rumah”. Mungkin saya hanya sedang bingung mengonversi energi yang biasanya terpakai untuk beraktivitas di luar kosan, karena membuka dan membuat text line di diktat bukanlah pilihan saya untuk setiap malamnya.

Yang saya sadari, saya sedang kehilangan kebiasaan. Kehilangan ini memaksa saya berteman dengan hal baru. Senja yang syahdu.

Senja yang syahdu saya kecap tatkala berkumpul dengan manusia-manusia kecintaan saya, keluarga. Dimulai dengan shalat maghrib berjamaah, tilawah lalu makan malam. Dan ini versi syahdu yang saya sukai.
Karena insan kocak yang berwawasan luas bernama Ayah selalu punya bahan obrolan selama makan malam. Lalu ada ciptaan Tuhan yang saya puja bernama Ibu, yang tak pernah alpa menghadiahi perut-perut kelaparan kami dengan masakan lezat nan bergizi. Sebut saja mereka Adik-Adik. Manusia-manusia dengan umur terpaut tiga, lima bahkan sebelas tahun lebih muda ketimbang saya yang celotehannya saya rindukan selama merantau. Tak hadir secara fisik tidak lantas membuat aliran darah terlupakan. Laki-laki kedua yang saya rapal namanya di tiap sujud setelah Ayah, Kakak. Berlabuh di Semarang sebagai mahasiswa Undip menjadikan kehadirannya sebagai barang langka di rumah. Namun, setiap kepingan cerita tentang Kakak adalah topik menarik bagi kami semua.

Syahdu. Walau mulai terkikis dengan anggota keluarga yang pelan-pelan meninggalkan rumah. Dua tahun yang lalu, Ibu mengalah untuk semangat belajar saya dan melafalkan ribuan untai doa indah dibarengi beberapa titik airmata. Saat saya resmi menjadi mahasiswi STAN.
Jauh sebelum itu, sepuluh tahun silam, untuk pertama kalinya, Kakak dilepas sekolah ke Jawa Barat. Banjir airmata dan berbuncah kekhawatiran mengiringi.
Tahun depan, giliran si Tengah yang beranjak kuliah. Medan bukan tempat pilihan untuk berkuliah, itu prinsip kami.
Kini Ayah dan Ibu bukan hanya menaikkan laju pedal demi mempersiapkan keberangkatan Adik, tetapi juga menata hati untuk kembali ‘mengalah’ atas nama semangat belajar.
Tak banyak yang tahu, hingga sebuah pesan terbalut pertanyaan terlontar ringan, “Mbak Muti magang di Medan, kan ?”. Tahun 2016, si Tengah dan saya  lulus berbarengan. Yang artinya, si Tengah akan merantau, dan saya kembali, meskipun sementara.

Syahdu. Walau kian kemari kian tergerus dengan banjiran aktivitas. Saat saya berlibur dua bulan yang lalu, saya mengenal syahdu lain versi.
Jarang sekali shalat maghrib berjamaah lagi, terlebih dilanjutkan tilawah. Makan malam adalah prosesi makan sendiri-sendiri.
Bukan hilang dengan disengaja. Kondisi memang berpotongan, namun sayangnya bukan di rumah, tapi di tempat-tempat lain. Adik-Adik sekolah ibarat para pekerja. Dari pagi hingga petang. Ayah dan Ibu berboncengan menjemput rezeki bahkan hingga larut malam.

Ah, saya merasa lebih sendiri saat kemarin. Ironi memang, adaptasi dengan syahdu versi ini terasa sedikit ganjil.
Tapi, saya tidak mengharapkan Ayah, Ibu dan Adik-Adik berhenti dari proses ini. Karena semua proses ini adalah perjuangan.
Lihatlah, malaikat mana yang menolak melindungi kaki-kaki yang menapak untuk menjemput rezeki serupa ilmu dan harta yang mencukupkan ?

Pada akhirnya, saya mengerti.
Senja bukan pelarian atas ketidaksiapan manusia menjemput malam. Senja adalah gerbang pembiasa pergantian dimensi waktu.
Tanpa senja, mungkin mata ini akan mengerjap bingung saat mentari berpindah. Tanpa senja, mungkin maghrib bukan waktu yang sakral untuk bersimpuh menghamba-Nya. Tanpa senja, mungkin manusia tak kenal bisnis dan waralaba sesederhana takjil. Tanpa senja, mungkin kita bukan apa-apa.
Karena kesyahduan senja adalah awal dari apa-apa yang sudah diakhiri. Dan sesyahdunya senja adalah yang menghentak untuk mempersiapkan kehidupan esok pagi lebih baik lagi.

Syahdu yang harus saya biasakan keberadaannya. Seperti kesyahduan mengikhlaskan sedikit waktu belajar untuk UTS besok demi luapan asa di ujung jemari ini.






Bintaro, 30 November 2015
mahdarania

Tidak ada komentar:

Posting Komentar